3 Fakta Rencana Pembangunan Vila Mewah di Pulau Padar, UNESCO Jadi Benteng Terakhir!
HAIJOGJA.COM – Anggota DPRD Provinsi NTT, Rusding, mendesak UNESCO untuk turun tangan meminta pemerintah membatalkan izin pembangunan vila mewah di Pulau Padar, yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Menurutnya, UNESCO adalah benteng terakhir yang bisa melindungi Pulau Padar dari ancaman pembangunan yang berpotensi merusak ekosistem.
“Ya karena saya melihat jika ruang pintu itu dibuka, takut memperparah, mengganggu satwa. Dan harapan saya UNESCO sebagai benteng terakhir agar minta pemerintah untuk mencabut izin untuk PT KWE itu,” ujarnya, Kamis, dikutip dari Kompas.
Rusding menegaskan, baik secara pribadi maupun mewakili lembaga, dirinya menolak keras pembangunan fasilitas apa pun di Pulau Padar. Fokus utamanya adalah menjaga dan mengelola Taman Nasional Komodo demi memperkuat konservasi, agar ekosistem dan hubungan timbal balik di dalamnya tetap terjaga.
Ia menyarankan para investor membangun hotel atau vila di Labuan Bajo yang masih memiliki lahan luas dan daya tarik wisata tinggi, tanpa harus masuk ke kawasan konservasi.
“Jangan dibiarkan para investor masuk ke dalamnya. Cukup investor main di luar Taman Nasional Komodo,” tambahnya.
Rusding juga mengajak seluruh masyarakat NTT dan Indonesia untuk menjaga kelestarian Taman Nasional Komodo sebagai warisan dunia yang keindahannya harus tetap alami.
“Banyak warga yang bergantung pada pariwisata Labuan Bajo dan TN Komodo. Mari kita jaga bersama agar ekosistemnya tetap lestari,” tegasnya.
3 Fakta Rencana Pembangunan Vila Mewah di Pulau Padar
Berikut ini sejumlah fakta tentang rencana pembanguna vika mewah di pulau Padar:
1. Anggota DPR RI Menolak
Sejumlah anggota DPR RI kompak menolak rencana pembangunan vila mewah di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra, menegaskan bahwa pariwisata memang perlu dikembangkan karena Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Thailand.
Namun, ia menolak keras pembangunan di Pulau Padar dan mendorong agar proyek diarahkan ke Labuan Bajo.
Menurutnya, izin PT KWE harus dikaji ulang secara menyeluruh.
Pariwisata, kata dia, seharusnya menjadi penggerak ekonomi yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal, sekaligus menarik wisatawan mancanegara.
Sikap serupa disampaikan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB, Kaisar Abu Hanifah.
Ia mendesak pemerintah menghentikan proyek karena dinilai mengancam kelestarian alam dan pesona utama Labuan Bajo.
Kaisar menegaskan, pengembangan pariwisata tidak boleh hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan dan pelestarian budaya.
Pembangunan di Pulau Padar, menurutnya, akan merusak lanskap alami yang menjadi ikon wisata NTT, bahkan diabadikan pada uang Rp50.000 edisi 2016.
“Bayangkan jika keindahan yang mempesona itu tergantikan oleh ratusan vila dan bangunan lain. Keaslian alam akan hilang, dan pada akhirnya membunuh potensi pariwisata kawasan tersebut,” ujarnya, dikutip dari Floresa.
Dukungan penolakan juga datang dari anggota Komisi III DPR RI, Benny Kabur Harman, yang berasal dari dapil NTT.
Pada 11 Agustus, ia mengunggah ulang cuitan akun @KawanBaikKomodo yang mengkritik proyek tersebut, sambil menulis pesan: “jangan gentar dibenci dan diancam sekalipun untuk menegakkan kebenaran, membela demokrasi, menjaga lingkungan dan mengawal heritage dunia.”
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, menyatakan akan memanggil Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk membahas polemik ini.
Menurutnya, DPR punya kewajiban menyalurkan aspirasi rakyat agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
2. DPRD Manggarai Barat Turut Menolak
Penolakan juga datang dari DPRD Manggarai Barat. Anggota dewan dari Partai Perindo, Hasanudin, menegaskan bahwa proyek pembangunan vila mewah di Pulau Padar bisa mengancam habitat komodo dan merusak keseimbangan ekosistem kawasan konservasi.
“Aktivitas satwa pasti akan terganggu. Tidak boleh ada pembangunan masif di wilayah yang masuk zona taman nasional,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan soal risiko pencemaran laut akibat limbah dari vila-vila yang akan dibangun.
Hasanudin menambahkan, sejak 2021 UNESCO dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah memperingatkan agar proyek yang mengancam nilai warisan dunia di kawasan itu dihentikan.
“Kami tidak ingin hanya karena kepentingan korporasi justru mengorbankan banyak hal di Kabupaten Manggarai Barat,” tegasnya.
Anggota DPRD lainnya, Ali Sehidun, menyoroti aturan zonasi di Taman Nasional Komodo yang kerap berubah demi memuluskan investasi.
“Kecemasan saya, pada saatnya nanti akan ada airport di dalam kawasan. Yang terjadi besok tidak bisa kita pastikan hari ini,” katanya.
Di tengah penolakan ini, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengklaim bahwa proyek di Pulau Padar tidak akan merusak lingkungan.
“Saya juga punya concern yang sama dengan masyarakat. Jangan sampai ada dampak pada masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan bahwa dokumen lingkungan untuk PT KWE, yang dibahas dalam pertemuan di Labuan Bajo pada 23 Juli, akan dinilai oleh UNESCO.
Menurutnya, penilaian UNESCO akan menentukan apakah proyek tersebut mengganggu Outstanding Universal Value (OUV), yaitu nilai luar biasa yang membuat suatu situs layak menjadi Warisan Dunia.
“Apakah mengganggu Outstanding Universal Lalue (OUV) atau enggak? Kalau tidak, oke. Kalau mengganggu, apakah harus ada modifikasi, jumlahnya dikurangi, luasan dikurangi atau ada bentuk-bentuk lain,” jelasnya.
3. Harapan Pemkab Manggarai Barat
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menyatakan mendukung rencana investasi di Pulau Padar, dengan harapan bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) lewat pajak serta membuka lapangan kerja bagi warga lokal.
Kepala Badan Pendapatan Daerah Manggarai Barat, Maria Yuliana Rotok, mengatakan dukungan ini didasari potensi penerimaan dari pajak hotel, restoran, hiburan, hingga PBB.
“Kenapa kita tidak menolak? Karena ada tarikan pajak hotel dan restoran, pajak hiburan dan PBB, jadi banyak yang kita bisa dapatkan,” ujarnya pada 5 Agustus.
Kepala Dinas Pariwisata, Stefanus Jemsifori, sependapat. Menurutnya, proyek ini bisa menyerap tenaga kerja lokal dan sekaligus menjadi langkah penataan melalui sistem carrying capacity atau pembatasan jumlah wisatawan di Pulau Padar.
Ia menilai, dalam lima tahun terakhir, saat musim ramai, Pulau Padar terasa seperti pasar karena sesaknya pengunjung.
“Pulau Padar dengan panorama yang begitu indah akhirnya kelihatan murah,” katanya.
Stefanus menjelaskan, pembatasan jumlah wisatawan justru bisa menguntungkan daerah.
Wisatawan akan mencari alternatif tujuan lain seperti desa wisata, sehingga perputaran uang tersebar lebih merata. Selain itu, pembatasan akan menarik segmen wisatawan berkelas.
“Daripada mengurus 1.000 orang tetapi hanya bawa uang 100 juta, mending urus 10 orang tetapi bawa 500 juta. Lebih simpel.
Efek lingkungannya kecil, sampahnya tidak banyak,” ujarnya.
Meski mendukung, Stefanus menegaskan pemerintah daerah tetap mengingatkan PT KWE agar pembangunan di Pulau Padar tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.
“Hal itu kami selalu sampaikan,” tegasnya.