DIY Masuk Zona Rawan Gempa dan Tsunami, BMKG Ingatkan Warga Tetap Siaga
HAIJOGJA.COM – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masuk dalam zona rawan gempa bumi dan tsunami, dengan potensi gempa megathrust hingga magnitudo 8,8.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada karena aktivitas seismik bisa terjadi kapan saja.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa wilayah DIY, terutama pesisir selatan, memiliki intensitas aktivitas gempa yang cukup tinggi.
Dalam sepuluh tahun terakhir, tercatat 114 gempa dengan magnitudo di atas 5, dua di antaranya merusak, dan 44 gempa lain dirasakan masyarakat.
DIY Masuk Zona Rawan Gempa dan Tsunami
Mengacu pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia (PUSGEN) 2017, potensi gempa megathrust di selatan Jawa bisa mencapai M8,8 yang berisiko menimbulkan tsunami besar.
“Ancaman ini nyata dan bisa terjadi kapan saja, karena itu kesiapsiagaan harus terus diperkuat,” tegas Dwikorita saat membuka Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG) di Kulon Progo, Selasa (23/9).
Ia juga menyoroti posisi strategis Kulon Progo yang berada di pesisir selatan DIY sekaligus menjadi pintu gerbang wisata dengan adanya Yogyakarta International Airport (YIA).
Menurutnya, YIA merupakan satu-satunya bandara di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara atau mungkin di dunia, yang sejak awal dirancang menghadapi ancaman gempa megathrust dan tsunami.
“YIA adalah simbol kesiapsiagaan bencana. Dengan desain khususnya, Kulon Progo punya peluang menjadi contoh daerah tangguh bencana. Ketangguhan ini yang bisa memberi rasa aman masyarakat sekaligus menumbuhkan kepercayaan wisatawan dan investor,” jelasnya.
Untuk meminimalkan risiko, BMKG menggulirkan berbagai program seperti Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami, Masyarakat Siaga Tsunami, hingga BMKG Goes To School.
Hingga kini, enam desa di DIY sudah diakui sebagai Masyarakat Siaga Tsunami, sementara program edukasi kebencanaan telah menjangkau 166 sekolah dengan lebih dari 20 ribu peserta.
Program-program ini bertujuan agar masyarakat mampu mengenali tanda bahaya, memahami sistem peringatan dini, hingga siap melakukan evakuasi.
Dwikorita juga menekankan pentingnya penerapan 12 Indikator Tsunami Ready dari UNESCO-IOC, mulai dari pembangunan rambu evakuasi, peta bahaya tsunami, hingga rencana kontinjensi.
“Kalau indikator itu terpenuhi, target zero victim bukan hal yang mustahil. Kuncinya ada pada sinergi pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam membangun kesiapsiagaan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia menegaskan, bencana memang tidak bisa dicegah, tetapi dampaknya bisa ditekan. “Dengan kesiapsiagaan, kita tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa, tapi juga menjaga pembangunan dan pariwisata tetap berlanjut,” pungkasnya.