HAIJOGJA.COM – Menurut Asita DIY (DPD Association of Indonesian Tours and Travel Agencies), pasar wisatawan mancanegara (wisman) asal Eropa masih memiliki potensi besar.

Menurut Iwan Sulistyanto, Humas Asita DIY, ada kemungkinan penurunan sekitar 30% jumlah kunjungan wisatawan ke Eropa pada tahun 2025.

Dia menyatakan bahwa penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti konflik di Timur Tengah.

Namun, Iwan yakin tren kunjungan wisman ke Eropa akan kembali meningkat pada tahun 2026 dan selanjutnya.

“Dengan catatan, peluang besar ini tetap membutuhkan konsistensi kebijakan dan stabilitas regulasi dalam industri pariwisata agar para pelaku bisnis dan wisatawan memiliki kepastian berwisata,” ucapnya, Kamis (30/10/2025), dikutip dari Harian Jogja.

Namun, Iwan menekankan bahwa untuk membuat usahawan dan wisatawan lebih yakin untuk berkunjung, peluang besar ini harus diimbangi dengan konsistensi kebijakan dan stabilitas regulasi di sektor pariwisata.

Ia menganggap posisi DIY yang strategis di tengah Pulau Jawa sebagai keuntungan.

Wisatawan Eropa Masih Terpesona dengan Yogyakarta

Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk membuat penerbangan langsung ke Yogyakarta dari Eropa lebih mudah bagi wisatawan.

Destinasi menarik di DIY seperti Candi Borobudur dan Prambanan juga menarik turis Eropa.

“Keunggulan ini tentu harus ditunjang dengan ekosistem pariwisata yang mendukung,” imbuhnya.

Untuk mengoptimalkan pasar Eropa, Iwan menilai DIY perlu memperkuat strategi promosi internasional.

Promosi, kata dia, sebaiknya dilakukan oleh orang yang kompeten dan benar-benar memahami karakter wisatawan Eropa serta produk wisata lokal.

“Promosi dilakukan secara kolaboratif, menampilkan kombinasi destinasi Pulau Jawa dengan Yogyakarta sebagai pusat budaya, agar lebih menarik bagi wisatawan Eropa,” jelasnya.

Dari sisi kebijakan, Iwan berharap ada kepastian regulasi minimal satu tahun ke depan, terutama soal tarif dan akses ke objek wisata.

Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan fasilitas kota, seperti jalur pedestrian yang tertata rapi dan pengelolaan sampah yang baik demi menjaga kenyamanan wisatawan.

“Faktor aksesibilitas juga sangat penting, mulai dari penerbangan langsung hingga kemudahan menuju objek wisata utama yang sering kali masih terkendala oleh kebijakan yang berubah-ubah dan biaya tinggi,” ucapnya.

Belanda, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol adalah negara-negara Eropa dengan tingkat kunjungan DIY tertinggi.

Selain itu, pasar baru dari negara-negara seperti Polandia, Denmark, Belgia, Portugal, Argentina, dan Slovenia mulai muncul.

Wisatawan Eropa biasanya menginap di DIY selama 2 hingga 3 malam, bahkan beberapa bahkan sampai 4 malam.

“Lama tinggal ini mencerminkan pola wisatawan yang menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu destinasi utama di Pulau Jawa, biasanya dikombinasikan dengan kota-kota lain seperti area Borobudur, Solo, dan Dieng,” ungkapnya.

Iwan menambahkan, minat wisatawan Eropa kini mulai meluas ke wisata alam, namun warisan budaya dan sejarah tetap menjadi magnet utama.

Destinasi Wisata Favorit Wisman Eropa di DIY

Menurut Asita DIY, sejumlah destinasi masih menjadi magnet utama bagi wisatawan mancanegara asal Eropa.

Candi-candi bersejarah seperti Borobudur, Prambanan, dan Sewu tetap menjadi tujuan favorit.

Selain itu, kawasan kota bersejarah seperti Kraton Yogyakarta, Tamansari, dan Kotagede juga selalu ramai dikunjungi.

Untuk wisata alam dan petualangan, wisatawan Eropa banyak memilih destinasi seperti Gunung Merapi, Pegunungan Menoreh, serta kawasan Geopark Nglanggeran.

Mereka juga tertarik pada wisata budaya dan kuliner lokal yang dianggap mencerminkan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang autentik.

“Secara keseluruhan, wisatawan Eropa mencari pariwisata berbasis budaya, alam, dan pengalaman otentik, bukan sekadar atraksi buatan.” katanya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, Bobby Ardiyanto Setyo Aji, menambahkan bahwa hingga September 2025, kunjungan wisatawan Eropa ke DIY masih tergolong stabil, meski tidak setinggi tahun lalu pada masa puncak musim liburan.

Menurut Bobby, kondisi geopolitik di Timur Tengah turut memengaruhi jumlah wisatawan tahun ini.

Biasanya, kunjungan wisatawan Eropa meningkat mulai Juni hingga puncaknya di Agustus–September, lalu menurun pada Oktober–November, dan kembali naik di pertengahan Desember menjelang Natal dan Tahun Baru.

Bobby menilai, untuk menarik lebih banyak wisatawan Eropa, perlu ada peningkatan kualitas produk wisata dan sumber daya manusia (SDM) di sektor pariwisata.

“Kemudian infrastruktur dan amenitas yang juga seharusnya baik. Pemerintah dan stakeholder sudah sepakat menuju internasional destination,” ucapnya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya pembenahan infrastruktur dan amenitas agar selaras dengan target menjadikan Yogyakarta sebagai destinasi bertaraf internasional.

Bobby juga menyoroti pentingnya penambahan penerbangan internasional langsung ke Yogyakarta, tidak hanya dari Kuala Lumpur dan Singapura, tapi juga dari negara lain seperti Thailand.

“Kalau semakin banyak yang direct ke Jogja ya harganya akan semakin baik pasti, kalau sekarang masih agak tinggi masuk ke Jogja karena masih terbatas,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar wisatawan Eropa masih tiba di Indonesia melalui Abu Dhabi dan Dubai, kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta atau Bali.

Namun, jika mereka transit di Kuala Lumpur atau Singapura, sebagian memilih terbang langsung ke Yogyakarta.

“Masih banyak yang gunakan di Cengkareng dan Ngurah Rai,” jelasnya.

Bobby menambahkan, wisatawan asal Belanda, Prancis, Italia, Spanyol, dan Belgia menjadi pasar terbesar untuk DIY.

Biasanya mereka menghabiskan waktu sekitar dua hari di Yogyakarta untuk mengunjungi Borobudur, Prambanan, dan Keraton, sebelum melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Bromo, Kawah Ijen di Banyuwangi, hingga Bali.

“Selain itu, mereka bergerak ke Timur ke Bromo, ke Kawah Ijen Banyuwangi dan Bali.” katanya.