HAIJOGJA.COM – Pada era 1970-an, Yogyakarta sempat diguncang kasus besar yang dikenal dengan nama Sum Kuning.

Peristiwa penculikan dan pemerkosaan ini menjadi sorotan nasional karena dipenuhi banyak kejanggalan.

Menurut catatan dalam buku Sum Kuning Korban Pentjulikan Pemerkosaan karya Kamadjaja dkk, nama asli Sum Kuning adalah Sumarijem.

Saat tragedi itu terjadi, ia baru berusia 17 tahun. Artinya, ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1952 atau 1953.

Sumarijem merupakan anak pertama dari pasangan Sudirejo.

Ia tinggal bersama orang tuanya serta dua adiknya di Desa Djetak, Kalurahan Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman.

Untuk membantu ekonomi keluarga, ia sehari-hari berjualan telur.

Rutinitasnya dimulai dari mengantar telur ke pelanggan tetap di Jogja, kemudian menjajakan sisanya di pasar.

Namun, malang tak dapat ditolak.

Pada akhir September 1970, kehidupan gadis penjual telur itu berubah drastis.

Ia menjadi korban dalam sebuah kasus tragis yang bukan hanya mengguncang Jogja, tapi juga tercatat sebagai salah satu luka kelam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.

Tragedi Sum Kuning 1970

Senin Pahing, 21 September 1970, sore itu Sumarijem yang lebih dikenal dengan nama Sum Kuning bersiap pulang setelah seharian berjualan telur di kota.

Sekitar pukul 5, ia mencari bus jurusan Jogja–Ngijon. Sayangnya, pada jam tersebut bus sudah tidak lagi melintas di Jalan Ngampilan.

Atas saran orang di sekitar, Sum pun berjalan ke arah Jalan Ngupasan.

Dari Ngampilan ia belok kanan lewat Jalan Patuk.

Hatinya sebenarnya sudah diliputi rasa was-was. Benar saja, saat melewati dekat Asrama Polisi Patuk, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di sampingnya.

Beberapa pemuda gondrong turun dan memaksanya masuk ke mobil.

“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sum untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan berandal-berandal itu, namun tidak berhasil,” tulisan dalam buku yang ditulis para pengacara Sum, dikutip dari Detik.

Sum sempat melawan sekuat tenaga, namun kalah jumlah.

Menurut ingatannya, di dalam mobil itu ada tiga pemuda berambut gondrong dan seorang lainnya berambut bros.

Mereka mengancamnya dengan belati agar tidak berteriak.

Mobil pun melaju kencang meninggalkan lokasi.

Perjalanan Mobil dan Penderitaan Sum Kuning

Mobil yang membawa Sum melewati kawasan Jogonegaran, lalu ke arah Bumijo, hingga Jalan Magelang.

Dari goncangan mobil ketika melewati rel, Sum bisa mengenali jalur yang mereka lewati.

Selama perjalanan, penderitaan itu dimulai. Selain diancam senjata, Sum dibekap kain basah yang membuatnya lemas.

Sebelum tak sadarkan diri, ia masih sempat merasakan kain panjangnya disingkap, lalu tubuhnya dirudapaksa.

Ia berusaha meronta, tapi tak berdaya. Saat siuman, tubuhnya sakit, roknya berlumuran darah, dan uang hasil jualan telur sebesar Rp 4.650 sudah raib.

Tak lama, dalam kondisi lemah dan penuh luka, Sum diturunkan begitu saja di tepi jalan raya kawasan Gamping, dekat Desa Pelemgurih—jalur utama yang menghubungkan Jogja, Wates, dan Purworejo.

Dengan sisa tenaga, ia berjalan ke arah timur menuju Jogja.

Bukannya langsung pulang ke rumah, Sum memilih mendatangi rumah salah satu langganannya, Ibu Sulardi.

Ia sampai di sana dengan naik becak menggunakan uang Rp 100 yang masih tersisa.

Kebetulan, tak jauh dari rumah Sulardi, tinggal seorang wartawan Minggu Pagi bernama Tut Sugiyarti.

Mendengar kabar Sum, Tut segera menghubungi pimpinannya di harian Kedaulatan Rakyat (KR).

Wartawan KR, Iman Sutrisno, kemudian datang dan melaporkan kasus ini ke Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Denpom VII/2.

Sum akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Bethesda untuk mendapat perawatan.

Dua hari berselang, 23 September 1970, kisah tragis Sum Kuning mulai menghiasi pemberitaan koran-koran Jogja.

Ganjilnya Pengusutan Kasus Sum Kuning

Sejak awal, penanganan kasus Sum Kuning dipenuhi kejanggalan.

Pada 28 September 1970, sempat beredar kabar bahwa para pelaku sudah ditangkap dan akan diarak.

Ribuan warga pun berbondong-bondong mendatangi kantor polisi di Malioboro.

Namun, tak ada apa-apa berita itu ternyata hanya kabar palsu.

Menariknya, Sum maupun keluarganya sama sekali tidak pernah melapor ke polisi soal tragedi ini.

Tapi anehnya, tak lama setelah ia keluar dari RS Bethesda, justru pihak kepolisian yang menjemputnya.

Dua polisi bernama Sukirno dan Sukarno mengatakan bahwa mereka hanya akan “meminjam” Sum selama sepuluh hari.

Kenyataannya, Sum ditahan hingga 32 hari.

Selama masa penahanan, Sum tidak diberi ruang untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

Jika ia bingung atau mencoba melawan, aparat menyiksanya dengan pukulan dan setrum.

“Kalau tidak menurut atau kalau ia diam tidak menjawab karena kebingungan, ia dibentak-bentak dengan perkataan ‘Bisu kau?!’ dan diancam akan disetrum dan ditahan 10 tahun,” tulis Kamadjaja dkk dalam buku yang pertama kali terbit tahun 1971 itu.

Penderitaan Sum tak berhenti di situ. Ia dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani.

Tubuhnya diperiksa kasar, diraba-raba, untuk mencari tato yang konon menjadi tanda keanggotaan Gerwani padahal jelas tak pernah ada.

Kejanggalan lain muncul ketika seorang penjual bakso bernama Trimo ikut terseret.

Pada 20 Oktober 1970, ia ditangkap polisi di rumahnya dan dipaksa mengaku bahwa dialah yang berhubungan badan dengan Sum.

Sama seperti Sum, Trimo juga mengalami siksaan hingga akhirnya memberikan pengakuan palsu.

Di kemudian hari, ia sendiri mengaku bahwa kesaksiannya itu hanya rekayasa.

Ironisnya, alih-alih mendapat keadilan, Sum yang merupakan korban justru dihadapkan ke meja hijau dengan tuduhan memberi keterangan palsu.

Polisi berdalih bahwa kisah yang ia ceritakan hanyalah fiksi, terinspirasi dari kasus pemerkosaan terhadap seorang guru muda Stella Duce yang memang sempat terjadi beberapa bulan sebelumnya di Jogja.