HAIJOGJA.COM — Sri Sultan Hamengkubuwono X menjalani prosesi sakral Jejak Banon Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 4 September 2025 malam.

Proses ini sebagai penutup Hajad Dalem Sekaten memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad Saw. pada tanggal 12 Rabiulawal 1447 H atau 12 Mulud Dal 1959 dalam penanggalan Jawa.

Bertepatan pada Tahun Dal, terdapat beberapa perbedaan prosesi Hajad Dalem Sekaten dibanding tahun-tahun lainnya.

Salah satu prosesi langka yang hanya dilakukan setiap delapan tahun sekali ini adalah Jejak Banon yang berarti tumpukan batu bada.

Jejak Banon merupakan bagian dari rangkaian acara Garebeg Mulud Dal yang tidak ditemukan pada tahun-tahun biasa.

Karena itu, setiap kali prosesi ini muncul, masyarakat Yogyakarta maupun dari luar kota selalu antusias untuk menyaksikan secara langsung keunikan budaya ini.

Tradisi Jejak Banon ini dilakukan Sri Sultan Hamengku Bawono X usai pembacaan Riwayat Nabi Muhammad Saw., sebagai bagian dari perjalanan kembali ke Kedhaton melalui jalur yang tidak biasa.

Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, KRT Kusumonegoro, menjelaskan bahwa dalam prosesi kali ini, Sri Sultan tidak mengambil jalur yang biasa digunakan.

Sebaliknya, beliau memilih jalur selatan, melewati pintu butulan sisi selatan dari Kagungan Dalem Masjid Gedhe.

Di sanalah prosesi Jejak Banon dilangsungkan.

“Tidak seperti biasanya, beliau akan menuju ke selatan melalui pintu selatan Masjid Gedhe dan ada prosesi lagi namanya Jejak Banon,” jelas KRT Kusumonegoro saat ditemui di Masjid Gedhe pada Kamis malam.

Filosofi Prosesi Sakral Jejak Banon pada Hajad Dalem Sekaten Jogja

Prosesi Jejak Banon memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di sekitar Yogyakarta.

KRT Kusumonegoro atau yang akrab disapa Kanjeng Kusumo menerangkan, Jejak Banon merupakan simbol lahirnya ajaran Islam yang membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Jawa.

“Inilah awal bahwa budaya Jawa atau budaya Islam ini selalu mendobrak tatanan-tatanan lama dalam hal-hal yang berkaitan dengan religius,” terang Kanjeng Kusumo.

Ia menambahkan bahwa momentum ini juga bertepatan dengan tahun Dal, yaitu tahun yang diyakini sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Maka dari itu, simbolisme Jejak Banon dianggap sebagai representasi dari hadirnya sebuah zaman baru, yakni zaman Islam di tanah Jawa.

Ajaran Islam lantas menggantikan sistem kepercayaan lama yang sebelumnya dianut oleh masyarakat.

“Karena Nabi Muhammad SAW juga dikatakan lahir pada tahun Dal. Sehingga ini menjadi cakrawala baru bagi orang Jawa terhadap agama baru masuk ke tanah Jawa,” sambungnya.

Dalam prosesi tersebut, Sri Sultan secara simbolik menjejakkan kaki di atas tumpukan batu bata (banon), yang secara filosofis menggambarkan langkah baru yang meruntuhkan pondasi lama menuju ajaran yang lebih suci dan spiritual.

Oleh karena itu, prosesi ini tidak hanya memiliki nilai historis, namun juga spiritual yang tinggi bagi masyarakat dan Kesultanan Yogyakarta.