HAIJOGJA.COM — Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY telah memperbarui peta rawan bencana di wilayah Jogja.

Hal ini untuk mengantisipasi musim hujan yang mulai memasuki wilayah Indonesia, sebagaimana telah diumumkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Sejalan dengan itu, warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi.

Kepala Pelaksana BPBD DIY Noviar Rahmad menyampaikan, peta risiko bencana hidrometeorologi sebelumnya tertuang dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 65 Tahun 2023 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Daerah Tahun 2023–2027.

“Jadi kita membagi menjadi tiga kategori, peta rawan longsor, peta rawan cuaca ekstrem, kemudian juga peta potensi banjir, itu akibat hidrometeorologi atau curah hujan yang cukup tinggi,” jelas Noviar di Jogja (10/9).

Menurutnya, bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di wilayah DIY mencakup banjir dan tanah longsor, serta angin kencang yang kerap menumbangkan pohon dan merusak infrastruktur umum.

“Banjir ini kita tidak bisa petakan secara keseluruhan karena tiba-tiba aja ada banjir, di daerah yang sebetulnya terpetakan tidak mempunyai potensi banjir, itu bisa saja terjadi apabila misalnya perilaku masyarakat,” paparnya.

Ia mencontohkan bahwa tindakan seperti membuang sampah di sungai dapat memicu penyumbatan aliran air, yang pada akhirnya menyebabkan banjir.

“Misalnya, membuang sampah di aliran sungai yang menyebabkan timbulnya penyumbatan di selokan-selokan, sehingga itu akan berakibat meluap ke jalan yang menyebabkan terjadinya banjir,” imbuh Noviar.

Atas dasar kejadian-kejadian tersebut, BPBD DIY melakukan pembaruan peta risiko bencana.

Berdasarkan catatan peristiwa bencana yang terjadi selama tahun 2024, terdapat penambahan wilayah dalam daftar daerah rawan.

“Seperti banjir, misalnya, peta rawan banjir kalau dalam peta sebelumnya kan, tidak termasuk Imogiri Bantul. Seperti kejadian 2024 Imogiri kan kejadian ada banjir. Nah, tentu saja itu akan menjadi salah satu peta rawan bencana yang tahun 2025 ini,” terang Noviar.

Untuk potensi longsor, wilayah Sleman juga mengalami penyesuaian pemetaan.

Jika sebelumnya hanya bagian utara Sleman yang dianggap rawan, kini wilayah seperti Prambanan dan Kalasan juga masuk dalam daftar.

“Kemudian terkait dengan longsor, Sleman itu rata-rata kan hanya berada di bagian utara, tetapi ternyata pada tahun 2024 itu longsor banyak terjadi di sekitar Prambanan, Kalasan, sehingga penambahan juga terkait dengan risiko bencana longsor di lokasi-lokasi tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, wilayah Kota Yogyakarta tidak mengalami perubahan signifikan dalam peta risiko bencana.

Kawasan bantaran sungai besar tetap menjadi area dengan potensi bencana paling tinggi di kota tersebut.

“Kota (Jogja) relatif lebih konstan ya risikonya, hanya risiko banjir kiriman dari utara, apabila hujan lebat dari utara akan menyebabkan meluapnya Kali Code, Kali Gajah Wong, kali yang melewati kota itu kan ada potensi terhadap terjadinya banjir di sekitar sungai,” pungkasnya.