HAIJOGJA.COM – Para penambang pasir di Sungai Progo kembali dibuat pusing.

Hingga sekarang, Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera (PPPS) belum juga mendapatkan izin resmi untuk beroperasi.

Situasi ini membuat banyak penambang kecil terpaksa bekerja secara ilegal demi menghidupi keluarga, meski sadar penuh bahwa risiko hukum selalu mengintai.

Penambang Sungai Progo

Bambang, Anggota Dewan Pengawas PPPS, menyebut persoalan utamanya ada di proses perizinan yang dianggap tidak masuk akal.

Salah satunya, aturan lama yang masih melarang penggunaan alat mekanik.

“Tapi itu masih merujuk keputusan tahun 1987. Padahal UU Minerba terbaru jelas membuka ruang bagi penambang rakyat menggunakan alat sederhana. Kalau harus manual, itu sama saja bunuh diri,” ungkapnya, Minggu (21/9), dikutip dari Harian Jogja.

Menurutnya, perbedaan penambang rakyat dengan perusahaan besar hanyalah soal skala, bukan cara kerja.

Namun, regulasi justru memperlakukan keduanya sama.

“Kami ini UMKM tambang. Tidak mungkin disamakan dengan Freeport. Tapi izin rakyat diperlakukan seolah-olah izin perusahaan besar. Birokrasi izin makin ruwet, overlay data harus dari pusat, provinsi, kabupaten, hasilnya nihil. Seakan rakyat dipaksa tidak bisa menambang secara legal,” jelas Bambang.

Kondisi serba salah pun tak bisa dihindari.

“Kalau berhenti, keluarga kelaparan. Kalau tetap bekerja, statusnya ilegal. Jadi kami sebenarnya bukan ingin melanggar, tapi terpaksa,” tambahnya.

Situasi ini ikut dikomentari oleh Yunianto, pengamat pertambangan di Sungai Progo.

Ia menilai pemerintah daerah justru tidak berpihak pada penambang kecil, bahkan terkesan hanya memanfaatkan mereka.

“Izin tidak diberikan, tapi pajak tetap ditarik. Tidak ada pembinaan, tidak ada layanan perizinan yang jelas. Penambang ini seperti dijadikan sapi perah. Mereka butuh kepedulian, bukan sekadar aturan yang memberatkan,” ujarnya.

Yunianto menekankan bahwa kebutuhan hidup penambang tidak bisa menunggu berlarut-larut di meja birokrasi.

“Legalitas tidak diberikan, tapi penambang tetap ditarik pajak. Tidak ada pembinaan, tidak ada pelayanan izin yang jelas. Penambang ini seperti dijadikan sapi perah. Mereka butuh kepedulian, bukan sekadar aturan yang memberatkan,” ucapnya.

Ia menutup dengan peringatan bahwa penambang rakyat sejatinya hanya ingin bekerja tanpa harus berhadapan dengan hukum pidana.

“Kalau kebutuhan hidup tak terpenuhi, risikonya lebih besar. Mereka bisa nekat ke jalur kriminal lain. Jadi lebih bijak memberi ruang legal dengan aturan manusiawi, daripada terus mendorong rakyat ke posisi ilegal,” tandasnya.