HAIJOGJA.COM — Menteri Keuangan (Menkeu) baru Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan kebijakan pertamanya usai resmi dilantik oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada Senin, 8 September 2025 lalu.

Purbaya yang menggantikan Sri Mulyani menyatakan akan menarik uang sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia.

Tujuan dari kebijakan ini adalah menjaga likuiditas dan mendorong pertumbuhan sektor riil.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Denni Puspa Purbasari, Ph.D., memberikan tanggapan terkait kebijakan tersebut.

Ia menilai bahwa langkah Menkeu Purbaya lebih berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja.

Kebijakan ini juga dianggap sebagai upaya mengejar keseimbangan internal dengan menambah likuiditas atau ketersediaan uang tunai dalam perekonomian.

Namun, peningkatan likuiditas dan penurunan suku bunga dapat menimbulkan risiko berkurangnya minat investor asing terhadap Indonesia.

“Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs Rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing,” kata Denni di Kampus FEB UGM, Kamis (11/9).

Menilik dari perspektif ekonomi, Denni menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah idealnya diarahkan untuk mencapai keseimbangan internal dan eksternal.

Keseimbangan internal dicapai ketika ekonomi domestik stabil, ditandai dengan pencapaian full employment dan inflasi yang terjaga.

Sementara itu, keseimbangan eksternal ditunjukkan oleh stabilitas neraca transaksi berjalan dan aliran modal internasional.

Namun, ia menyebut bahwa sering kali tujuan internal dan eksternal ini saling bertolak belakang.

Kebijakan yang fokus pada stabilitas internal bisa berdampak negatif terhadap stabilitas eksternal, begitupun sebaliknya.

“Kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu,” tambahnya.

Dalam konteks investasi, Denni menyebut bahwa perilaku membandingkan return investasi adalah hal rasional.

Dalam hal ini, modal cenderung mengalir ke tempat yang menawarkan imbal hasil tertinggi pada tingkat risiko yang sama.

“Pak Purbaya perlu menimbang ini, agar depresiasi yang terjadi tidak terlalu drastis yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi dapat dibiayai,” tekannya.

Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kebijakan terkait likuiditas merupakan bagian dari kebijakan moneter.

Dalam hal ini, Bank Indonesia bertugas menjaga stabilitas Rupiah, baik terhadap inflasi maupun nilai tukar, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Data terkini dari Bank Indonesia menunjukkan adanya perubahan dalam Neraca Pembayaran Indonesia sepanjang tahun 2025.

Hingga semester I 2025, neraca transaksi berjalan mencatat defisit (minus) sebesar 3,2 miliar dolar AS.

Neraca finansial pun mengalami defisit sebesar 5,6 miliar dolar AS.

Kondisi ini berbeda dari tahun 2024, meskipun neraca transaksi berjalan defisit, neraca finansial masih mencatat surplus meskipun kecil.

Defisit dalam neraca finansial disebabkan oleh keluarnya investasi portofolio, baik dari sektor obligasi maupun saham, yang mencapai nilai 8 miliar dolar.

Sementara itu, investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) hanya mencapai 5 miliar dolar, tidak mampu menutup arus keluar tersebut.

“Investasi portofolio sangat dipengaruhi oleh sentimen investor,” tegasnya.

Untuk diketahui, Rupiah sepanjang tahun 2025 mengalami depresiasi sebesar 1,44% terhadap dolar AS.

Namun, pelemahan lebih besar terjadi terhadap mata uang lain seperti Yuan (4,62%), dolar Singapura (8,17%), dolar Australia (8,68%), dan Euro (14,42%).