HAIJOGJA.COM – Makna dan prosesi tirakatan Malam 1 Suro mencerminkan kekayaan spiritual dan budaya masyarakat Jawa yang masih lestari hingga kini.

Tirakatan malam 1 Suro merupakan tradisi penting yang masih dijaga oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan budaya lokal.

Tradisi ini dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Suro dalam kalender Jawa, yang juga bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam.

Tirakatan menjadi sarana untuk memperdalam spiritualitas, memperkuat relasi sosial, serta mengingatkan manusia untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan.

Menurut Ensiklopedia Kebudayaan Wonosobo karya M Yusuf Amin Nugroho dkk., tirakatan biasa dilakukan oleh penganut Islam Kejawen, baik secara individu maupun bersama-sama.

Prosesi ini dimulai dengan berkumpul di tempat yang dianggap sakral seperti rumah warga atau balai masyarakat.

Perlengkapan seperti tumpeng, ingkung ayam, jajanan pasar, bunga, dan bubur anyep disiapkan, masing-masing mengandung simbol harapan dan makna filosofis mendalam, seperti rendah hati dan pengendalian diri.

Menjelang tengah malam, kegiatan dilanjutkan dengan doa bersama, pembacaan mantra, dan pembakaran kemenyan yang dipercaya menyucikan batin.

Tradisi seperti lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) dan tuguran (perenungan diri) juga dilakukan sebagai bentuk introspeksi.

Menurut laman resmi Kelurahan Semanu, suasana tirakatan dihiasi alunan gending Jawa, doa bersama, dan diakhiri kenduri sederhana sebagai ungkapan syukur dan doa menyambut tahun baru Hijriah dengan hati yang bersih.