Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Masih Tertunda, Risiko Diabetes di Indonesia Mengkhawatirkan
HAIJOGJA.COM – Kebijakan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kembali mengalami penundaan.
Sejak 2020, wacana mengenai cukai c sudah menjadi perdebatan, namun hingga kini belum juga diimplementasikan di Indonesia.
Padahal, sejumlah studi memperkirakan penerapan kebijakan ini bisa memberikan dampak signifikan, seperti mencegah sekitar 3,1 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan mengurangi potensi kerugian ekonomi hingga Rp 40,6 triliun jika dilaksanakan pada periode 2024 hingga 2033.
Ancaman Penyakit Tidak Menular Semakin Nyata
Cukai merupakan pungutan negara terhadap barang-barang tertentu yang memiliki karakteristik khusus, di antaranya perlu pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, serta menimbulkan efek negatif bagi masyarakat maupun lingkungan.
Penundaan kebijakan cukai MBDK berpotensi memperburuk ancaman penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, obesitas, dan hipertensi. Kondisi ini bisa menambah beban kesehatan masyarakat baik saat ini maupun di masa depan.
Hasil studi elastisitas harga cukai MBDK yang dilakukan CISDI pada 2025 mencatat bahwa sekitar 63,7 juta rumah tangga, atau setara 68,1 persen populasi Indonesia, rutin mengonsumsi setidaknya satu jenis minuman berpemanis dalam kemasan setiap minggu.
Aspek Ekonomi dan Tantangan Kebijakan
Project Lead for Food Policy CISDI, Nida Adziah Auliani, menekankan pentingnya aspek ekonomi dalam penerapan cukai MBDK.
Ia menyebut ada tiga opsi desain kebijakan yang bisa dipilih, yaitu berbasis harga, per volume, atau berdasarkan kandungan gula pada produk.
Namun, menurutnya, tantangan terbesar justru datang dari tarik-menarik kepentingan kebijakan serta isu politik yang menyertainya.
“Diskon besar-besaran sering dipakai untuk menekan harga sehingga esensi cukai bisa melemah. Padahal, peran konsumen juga penting. Kesadaran diri untuk lebih mindful dalam memilih produk itu bagian dari refleksi yang harus ditumbuhkan,” ucap Nida dalam seminar Si Manis Bikin Krisis di Function Hall FEB UGM, Selasa (23/9/2025).
Perspektif Regulasi dan Prinsip Keadilan
Dari sisi hukum, Dr Arvie Johan mengingatkan bahwa dasar regulasi sebenarnya sudah tersedia.
Hal ini tertuang dalam Pasal 195 PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pembatasan iklan produk pangan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Namun, ia menilai arah implementasi kebijakan cukai MBDK masih belum jelas.
“Cukai ini harus dilihat sebagai instrumen kesehatan, bukan sekadar lahan keuntungan. Pemerintah juga perlu memastikan produk sehat bisa diakses masyarakat dengan mudah dan harga terjangkau,” katanya.
Lebih lanjut, Arvie menegaskan pentingnya dua prinsip utama dalam perumusan kebijakan MBDK, yakni kepastian dan keadilan.
Menurutnya, cukai harus dirancang secara transparan dengan tujuan jelas untuk melindungi kesehatan publik, bukan kepentingan lainnya.