Cek 7 Budaya Asli Jogja yang Mulai Punah dari Tembang Macapat Hingga Merti Desa!
HAIJOGJA.COM – Budaya asli Jogja yang mulai punah mencerminkan perubahan zaman yang kian cepat serta bergesernya minat generasi muda terhadap tradisi lokal.
Dulu, praktik-praktik ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, baik dalam keseharian maupun upacara adat.
Namun kini, banyak yang mulai ditinggalkan karena dianggap kurang relevan atau memakan waktu dan biaya.
Globalisasi dan pengaruh budaya luar juga turut berperan dalam menggeser perhatian masyarakat dari tradisi warisan leluhur tersebut.
Padahal, warisan budaya ini menyimpan nilai filosofis yang dalam dan mengajarkan banyak hal, mulai dari sikap hormat, kebersamaan, hingga keterhubungan manusia dengan alam.
Sayangnya, tanpa upaya pelestarian yang konsisten dan inovatif, generasi mendatang bisa saja tidak lagi mengenal bentuk-bentuk budaya ini.
Perubahan pola hidup yang lebih praktis dan instan membuat tradisi lokal sulit bersaing, kecuali ada revitalisasi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
7 Budaya Asli Jogja yang Mulai Punah
Berikut adalah 7 budaya asli Jogja yang mulai punah, beserta penjelasannya:
1. Upacara Adat Nyadran
Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, biasanya dengan membersihkan makam dan membawa sesaji.
Dulu digelar secara rutin di desa-desa, namun kini makin jarang dilakukan karena dianggap ketinggalan zaman oleh generasi muda.
Perubahan gaya hidup dan menurunnya ketertarikan terhadap ritual spiritual membuat tradisi ini mulai menghilang.
2. Wayang Orang
Pertunjukan seni yang menggabungkan tari, drama, dan musik ini pernah populer di kalangan masyarakat Jogja.
Namun kini, minat masyarakat untuk menonton atau menjadi bagian dari kesenian ini sangat menurun.
Biaya produksi yang tinggi dan minimnya regenerasi pelaku seni membuat pertunjukan ini nyaris tak terdengar lagi.
3. Tembang Macapat
Macapat adalah jenis puisi tradisional Jawa yang dilagukan dengan aturan khusus.
Dulu diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam acara adat, namun sekarang nyaris tidak lagi diajarkan.
Generasi muda menganggapnya kuno dan sulit dipahami, sehingga minat terhadap tembang ini terus merosot.
4. Tradisi Berbalas Pantun Jawa (Parikan)
Dulu, parikan digunakan sebagai sarana hiburan dan komunikasi dalam pergaulan, terutama saat pesta rakyat.
Kini, gaya komunikasi yang instan dan digital membuat tradisi ini tersisih.
Anak muda cenderung lebih memilih media sosial atau bahasa gaul dalam interaksi sehari-hari.
5. Merti Desa
Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur warga desa kepada alam dan Tuhan atas hasil panen.
Biasanya diselenggarakan dengan kirab dan pertunjukan seni.
Namun sekarang banyak desa yang tidak lagi melestarikannya karena terkendala dana dan minimnya antusiasme warga, terutama dari kalangan muda.
6. Tari Tradisional Rakyat
Jogja memiliki berbagai tarian rakyat yang biasanya muncul dalam upacara atau hiburan rakyat.
Seiring waktu, banyak tarian ini tergeser oleh bentuk hiburan modern seperti musik pop atau tari kontemporer.
Kurangnya dokumentasi dan pelatihan kepada generasi muda turut mempercepat kepunahannya.
7. Permainan Tradisional Jawa
Permainan seperti gobak sodor, egrang, atau dakon dulu sangat digemari anak-anak.
Namun saat ini, mereka lebih akrab dengan gadget dan game digital.
Pergeseran gaya bermain inilah yang membuat permainan tradisional semakin jarang terlihat dan hampir punah di lingkungan urban Jogja.
Jika tidak ada revitalisasi atau adaptasi, budaya-budaya ini hanya akan tinggal cerita atau catatan sejarah semata.