HAIJOGJA.COM — Sibuknya kegiatan perayaan HUT ke-80 RI bikin muncul pertanyaan, “Bolehkah jamak salat gegara ikut lomba Agustusan?”

Perayaan Agustusan tiap tahunnya selalu identik dengan berbagai perlombaan, seperti balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, dan lomba unik lain.

Keseruan dan padatnya agenda selama sehari penuh kadang membuat waktu salat tersingkirkan bahkan terlupakan.

Lantas, hukum menjamak salat karena ikut lomba Agustusan menjadi relevan, terutama bagi panitia atau peserta lomba yang kegiatan harian mereka penuh tanpa jeda.

Untuk menjawabnya, mari kita pahami lebih dalam tentang hukum menjamak salat dalam Islam, serta bagaimana penerapannya dalam konteks lomba kemerdekaan.

Apa Itu Salat Jamak?

Secara umum, salat jamak adalah bentuk keringanan (rukhsah) yang dibolehkan dalam Islam ketika seorang Muslim menghadapi situasi tertentu yang menyulitkan pelaksanaan salat tepat waktu.

Dalam kondisi normal, setiap salat wajib harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing.

Namun, jika terdapat ‘udzur (alasan syar’i), maka dua salat bisa dijamak dalam satu waktu.

Contoh kondisi yang membolehkan salat dijamak antara lain, bepergian jauh (safar), situasi darurat atau ketakutan (khauf) seperti saat perang, hujan deras, keadaan sulit atau hajat syar’iyyah yang mendesak.

Dasar Hukum Salat Jamak

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ayat ini menjadi landasan bahwa dalam Islam, prinsip kemudahan itu ada, terutama saat menjalankan kewajiban seperti salat dalam kondisi yang tidak normal.

Selain surat tersebut, beberapa hadis Nabi Muhammad saw. menjelaskan secara rinci tentang kebolehan menjamak salat. Di antaranya:

  • Hadis dari Mu‘āż r.a.:

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

“Diriwayatkan dari Mu‘āż r.a., ia berkata: Kami pergi bersama Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, beliau melaksanakan salat ẓuḥur dan ‘aṣar secara jamak, demikian pula maghrib dan ‘isya’.” [HR. Muslim].

  • Hadis dari Anas bin Mālik r.a.:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

“Diriwayatkan dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan salat ẓuḥur ke waktu ‘aṣar, lalu turun dan menjamak keduanya. Namun jika matahari sudah tergelincir sebelum berangkat, beliau melaksanakan salat ẓuḥur terlebih dahulu, kemudian baru berangkat.” [Muttafaq ‘Alaih].

  • Ada pula redaksi hadis tentang jamak tanpa safar:

النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلَا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا العَبَّاسِ، وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ

“Nabi Saw pernah menjamak antara salat ẓuḥur dan ‘aṣar di Madinah bukan karena bepergian dan bukan karena takut. Aku bertanya: Wahai Abū al-‘Abbās, mengapa bisa demikian? Ia menjawab: Nabi tidak menghendaki adanya kesulitan bagi umatnya.” [HR. Ahmad].

Hadis terakhir ini menjadi dalil bahwa jamak dapat dilakukan untuk menghilangkan kesulitan (raf‘ al-ḥaraj) meskipun tidak sedang safar, selama ada ḥājah (kebutuhan mendesak) dan tidak dijadikan kebiasaan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa salat jamak tidak hanya berlaku saat bepergian. Dalam keadaan mendesak yang menyulitkan pelaksanaan salat tepat waktu, jamak bisa menjadi solusi, selama tidak dijadikan kebiasaan.

Jamak Salat Gegara Lomba Agustusan, Bolehkah?

Untuk menjawab ini, Ustazah Dewi Umaroh dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, memberikan penjelasan yang sangat penting.

Ustazah menegaskan bahwa salat adalah ibadah wajib yang waktunya telah ditetapkan secara syar’i, sehingga tidak boleh ditinggalkan atau dijamak tanpa alasan yang sah.

Kapan Jamak Diperbolehkan Saat Lomba?

Jika perlombaan seperti turnamen olahraga (misalnya sepak bola dengan sistem trofeo, maraton, atau pertandingan voli beruntun) tidak memberi ruang waktu untuk melaksanakan salat pada waktunya, maka menjamak salat diperbolehkan sebagai bentuk rukhsah.

Namun, jika lomba hanya bersifat ringan, berdurasi pendek, dan diselingi waktu istirahat (seperti lomba balap karung, makan kerupuk, atau tarik tambang), maka tidak ada alasan syar’i untuk menjamak salat. Dalam kasus ini, salat wajib dilakukan sesuai waktunya.

Syarat-Syarat Diperbolehkannya Salat Jamak

Ustazah Dewi Umaroh memberikan tiga syarat penting agar jamak bisa diterapkan dalam konteks kegiatan lomba atau acara padat lainnya:

  • Harus ada hajat syar’iyyah, yakni kebutuhan mendesak yang benar-benar menyulitkan pelaksanaan salat.
  • Tidak dijadikan kebiasaan, jamak hanya dilakukan dalam situasi khusus, bukan setiap kali ada acara atau lomba.
  • Bukan karena malas atau ingin praktis, kemudahan ini bukan untuk alasan yang dibuat-buat.

“Kemudahan diberikan hanya untuk menghilangkan kesulitan, bukan untuk menghilangkan kedisiplinan,” tegas Ustazah Dewi.

Artinya, rukhsah dalam ibadah salat harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap hambanya yang sedang kesulitan, bukan sebagai celah untuk meremehkan kewajiban agama.

Contoh Lomba yang Tidak Membolehkan Salat Jamak

Ada banyak lomba Agustusan yang tidak menghalangi pelaksanaan salat tepat waktu. Di antaranya:

  • Lomba makan kerupuk
  • Balap karung
  • Balap kelereng
  • Tarik tambang
  • Lomba bakiak
  • Meniup balon
  • Lomba memindahkan air dengan spons
  • Memecahkan balon berisi air
  • Estafet bendera
  • Menangkap belut
  • Memasukkan pensil ke botol

Lomba-lomba seperti ini biasanya berlangsung cepat dan memiliki jeda antar sesi, sehingga tidak ada halangan untuk salat sesuai waktunya.