Ancaman PHK Membayangi DIY: Sektor Perhotelan, Tekstil, dan Mebel Tertekan Ekonomi Global
HAIJOGJA.COM – Situasi ketenagakerjaan sedang menghadapi ancaman PHK membayangi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) di beberapa sektor.
Beberapa sektor usaha berpotensi melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para pekerjanya.
Hal ini diungkap oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, yang mencatat bahwa sektor perhotelan, tekstil, serta kerajinan dan mebel merupakan yang paling berisiko.
Wakil Ketua Kadin DIY Bidang Advokasi dan Regulasi, Irsyad Thamrin, menuturkan bahwa meskipun gelombang PHK belum meluas, namun perlu ada langkah pencegahan agar tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Kenaikan tarif pajak dari Amerika Serikat disebut menjadi salah satu penyebab penurunan ekspor DIY, terutama dari sektor kerajinan dan mebel.
“Meski kami lihat belum masif, tetapi perlu diantisipasi. Jangan sampai kebijakan ini tidak dikonsultasikan dengan pelaku usaha, stakeholder lain, sehingga memberikan dampak kerugian ekonomi sosial,” katanya, Rabu (14/05/2025), dikutip dari Tribun News.
Kadin DIY pun menyatakan kesiapannya memberikan pendampingan hukum kepada pekerja dan pelaku usaha, serta menjadi mediator dalam penyelesaian konflik ketenagakerjaan sebelum masuk ke tahap tripartit.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY juga mengungkapkan kekhawatiran. Tahun 2024 tercatat 1.779 PHK, dan jumlah ini dikhawatirkan meningkat tahun ini.
Sektor perhotelan mengalami penurunan tingkat hunian hingga 50 persen, menyebabkan pengurangan jam kerja dan cuti tanpa bayaran.
Di sektor tekstil dan garmen, sekitar 70 persen industri kecil dan menengah (IKM) sedang mengalami tekanan, hanya 30 persen yang masih bertahan dengan produk bernilai tinggi.
Dari sisi ekonomi makro, meskipun pertumbuhan ekonomi DIY pada kuartal I 2025 mencapai 5,11 persen secara tahunan dan lebih tinggi dari rata-rata nasional, namun performa perdagangan internasional menurun.
Surplus neraca perdagangan pada Maret 2025 tercatat sebesar US$ 31,73 juta, turun dibanding bulan sebelumnya dan juga dibandingkan Maret 2024.
Amirullah Setya Hardi dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Yogyakarta menyebut penurunan ekspor turut berdampak besar karena industri pengolahan yang merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar, sangat bergantung pada pasar ekspor.
Ia juga menekankan bahwa lebih dari 1 juta tenaga kerja di DIY berisiko terdampak jika ketidakpastian ekonomi terus berlanjut.