Anak CIBI Yogyakarta Kekurangan Guru Pendamping, Ini Kata Orang Tua dan Disdikpora
HAIJOGJA.COM – Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI) di Yogyakarta masih menghadapi kendala karena belum memiliki guru pendamping yang memadai.
Padahal, kehadiran pendamping sangat penting agar proses belajar mereka di sekolah reguler bisa berjalan optimal.
Anak CIBI Yogyakarta Kekurangan Guru Pendamping
Rusmawati Wawa, salah satu orang tua dari anak CIBI, menuturkan bahwa anak-anak berbakat tidak membutuhkan sekolah khusus, melainkan guru yang benar-benar memahami karakter dan kebutuhan mereka.
“Psikologisnya juga harus tahu (guru). Misalnya di sekolah dia sudah belajar, lalu dia (anak gifted) punya interest ingin meneliti ini. Pemerintah itu ada lembaganya,” kata Wawa, dikutip dari Kompas.
Ia menilai, program sekolah inklusi yang sudah ada sebenarnya bisa menjadi solusi, asal dilengkapi dengan kehadiran guru pendamping atau shadow teacher.
“Kasihlah mentor, itu yang paling tepat. Tempel terus, dia ngomong apa ada terus. Jadi anak-anak ini merasa tidak sia-sia,” kata dia.
Wawa juga mencontohkan, pernah ada anak berusia lima tahun yang sangat tertarik mempelajari mesin secara mendalam.
“Dulu ada satu anak umur 5 tahun ingin tahu mesin-mesin sedetail-detailnya. Paling tidak ada mentoring, kalau sendiri itu mahal banget,” ujarnya.
Karakter Anak CIBI
Wawa menjelaskan bahwa anak-anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa memiliki karakter yang beragam. Secara umum, ia membaginya menjadi tiga kategori.
Pertama, gifted harmony, yaitu anak dengan kemampuan yang seimbang di berbagai bidang dan biasanya menunjukkan prestasi baik di sekolah.
Kedua, gifted disinkroni, yakni anak yang memiliki kecerdasan tinggi, tetapi kemampuan sosial atau emosionalnya tidak berkembang seiring dengan kemampuan intelektualnya.
“Kalau harmoni semua rata di tinggi semua. Ada juga yang sulit sosialisasi tapi dia gifted, dia tinggi (skor) tapi di bagian sosialisasi dia turun. Jadi gap angkanya terlalu jauh,” ujar Wawa yang juga salah satu pendiri komunitas PSGGC Jogja.
Ketiga, gifted underachiever, yaitu anak-anak berbakat yang cenderung tidak mau menunjukkan kemampuannya, namun seiring waktu potensi mereka akan terlihat.
“Kadang anak yang juara, berprestasi dikatakan gifted padahal tidak semua. Bisa saja dia bright. Bright itu mereka yang belajar tekun, disukai banyak orang, manutan. Gifted itu kebanyakan enggak manutan, punya pola pikir sendiri. Kadang-kadang dilihat orang kok gitu sih, katanya jenius kok gitu (pola pikir),” jelasnya.
Wawa menambahkan bahwa pemahaman tentang anak berbakat di Indonesia masih sangat terbatas, termasuk perhatian dari pemerintah.
Ia menilai, sistem pendidikan konvensional yang menekankan metode ceramah di kelas tidak sesuai untuk anak-anak dengan kemampuan istimewa.
Anak-anak gifted cenderung aktif, kritis, dan sering mengajukan pertanyaan ketika merasa penjelasan guru kurang mendalam.
“Zamannya dia (menunjuk Wilang) dia harus pindah sekolah yang akomodatif,” kata dia.
“Di sekolahnya tidak ada jawaban salah, kalau kurang tepat digali (jawaban) sama gurunya, jadi sangat-sangat personal,” ujarnya.
Tanggapan Disdikpora
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kota Yogyakarta, Budi Santosa Asrori, mengakui bahwa hingga saat ini pemerintah belum memiliki sekolah khusus bagi anak-anak berbakat atau gifted children.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemerintah sudah menjalankan program pendidikan inklusif yang dapat menampung berbagai karakter dan kemampuan peserta didik.
“Pendidikan itu bisa menaungi segala macam anak, dari sisi kemampuan berpikir, sosial ekonomi, harus diakomodir oleh pemerintah,” ujar Budi.
Ia menjelaskan, dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kota Yogyakarta telah menerapkan beberapa jalur, seperti zonasi domisili, zonasi daerah, prestasi, dan afirmasi, agar kesempatan belajar tetap terbuka untuk semua kalangan.
“Pendidikan itu tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu masyarakat, itu yang dijalankan pemerintah,” ujarnya.
Terkait penerimaan siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata, Budi menegaskan bahwa hal itu tetap mengikuti aturan yang berlaku.
“Kalau ada anak yang ada di atas 130 IQ-nya, dia memiliki persyaratan dan kualifikasi sesuai dengan aturan yang kami susun untuk penerimaan siswa baru ya kami terima. Bukan karena IQ 130 langsung diterima, itu tidak,” kata Budi menegaskan.