HAIJOGJA.COM – Situasi politik di Yogyakarta turut memanas menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Suharno, politisi Partai NasDem dari Yogyakarta, menyampaikan keprihatinannya terhadap putusan tersebut.

Ia menilai langkah MK berlebihan dan telah melampaui batas kewenangan lembaga yudikatif.

Menurut Suharno, keputusan MK yang memisahkan waktu pemilihan presiden, DPR, dan DPD dari pemilihan kepala daerah dan DPRD berpotensi menabrak konstitusi serta merugikan pemerintah daerah.

Ia memperingatkan adanya risiko pembengkakan anggaran dan kerumitan dalam proses pencalonan legislatif sebagai dampak dari keputusan itu.

“Keputusan ini seharusnya dipertimbangkan lebih matang. Dengan kondisi anggaran negara yang perlu efisiensi, keputusan MK ini justru akan menambah beban. Apalagi kalau anggaran pemilu daerah dibebankan ke daerah masing-masing, ini sangat berat,” jelas Suharno, Kamis (3/7/2025), dikutip dari Liputan6.

Langgar Konstitusi

Suharno juga menilai keputusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun sekali untuk semua tingkatan.

Jika jadwal dipisahkan hingga dua tahun, menurut Suharno, berpotensi memperpanjang masa jabatan tanpa pemilu, yang jelas melanggar konstitusi.

Lebih lanjut, ia menyoroti potensi kebingungan dalam mekanisme pencalonan jika pemilu tidak digelar bersamaan.

Contohnya, jika ada anggota DPRD yang ingin mencalonkan diri ke DPR-RI saat masa jabatannya belum habis, atau sebaliknya, jika caleg DPR-RI gagal dan ingin maju sebagai caleg DPRD, belum ada aturan teknis yang jelas.

MK Tidak Konsisten

Suharno mengkritik MK karena menurutnya telah mengambil peran pembentuk undang-undang, yang seharusnya merupakan tugas DPR dan pemerintah.

Ia juga menyoroti ketidakkonsistenan MK, yang dalam putusan sebelumnya (No 85/PUU-XX/2022) menyatakan pilkada bagian dari rezim pemilu, namun kini justru memisahkannya.

Ia menutup dengan menyebut bahwa putusan ini lebih berkaitan dengan manajemen penyelenggaraan pemilu ketimbang soal konstitusionalitas, dan inkonsistensi MK justru memperlemah dasar hukum putusan tersebut.