HAIJOGJA.COM – Malam 1 Suro selalu disambut dengan suasana hening dan penuh kekhusyukan oleh masyarakat Jawa.

Pada tahun 2025, malam 1 Suro jatuh pada Kamis malam, 26 Juni, sementara tanggal 1 Suro sendiri bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025, yang juga merupakan 1 Muharram 1447 Hijriah, menandai awal tahun baru Islam.

Bulan Suro atau Muharram dalam kalender Hijriah dipandang sebagai bulan suci yang sarat makna spiritual.

Salah satu kepercayaan yang masih banyak dipegang adalah larangan untuk mengadakan pernikahan atau pesta besar selama bulan ini.

Dilansir dari Kompas, budayawan dan sejarawan dari Solo, Tunjung W. Sutirto, menyatakan bahwa keyakinan tersebut masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah Solo dan Yogyakarta.

Diyakini bahwa menikah di bulan Suro bisa membawa kesialan atau musibah, bahkan bisa berdampak buruk bagi keturunan karena dianggap “kualat” atau melanggar norma leluhur.

Meski banyak yang memilih menunda atau mempercepat pernikahan untuk menghindari bulan ini, Tunjung menegaskan bahwa bulan Suro sebenarnya memiliki makna filosofis yang mendalam.

Di lingkungan Keraton Surakarta, bulan Suro bahkan dianggap waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan bagi kalangan bangsawan.

Hal ini mencerminkan adanya privilese budaya, di mana rakyat biasa diharapkan tidak melampaui otoritas simbolik keraton.

Secara historis, bulan Suro adalah simbol pergantian tahun dalam kalender Jawa yang dirancang oleh Sultan Agung pada tahun 1633, memadukan unsur Islam dan budaya Hindu-Jawa.

Tahun baru Jawa tidak dirayakan secara meriah, tetapi lebih ditekankan pada refleksi batin melalui puasa, doa, dan ritual sunyi seperti kirab pusaka dan tapa bisu.

Namun, di era modern, kepercayaan mengenai larangan menikah di bulan Suro mulai mengalami pelonggaran.

Banyak pasangan yang tetap melangsungkan pernikahan karena alasan tertentu, seperti pekerjaan atau kebutuhan mendesak, meskipun tetap ada penghormatan terhadap tradisi.

Menurut Tunjung, masyarakat Solo umumnya masih menjaga dan menghargai warisan budaya tersebut meskipun tidak lagi menjadikannya sebagai aturan mutlak.