HAIJOGJA.COMSetiap Jumat malam di akhir bulan, suasana Kota Yogyakarta selalu berubah. Ribuan orang bersepeda ke jalan-jalan di Jogja Last Friday Ride (JLFR), yang datang dari seluruh kota.

Kini JLFR menjadi tradisi kota khas Jogja, perpaduan olahraga, hiburan, dan ruang berekspresi sosial, bukan sekadar gowes bersama.

Gerakan akar rumput adalah sumber pertama JLFR. Sekelompok remaja berkumpul di Alun-Alun Utara pada Mei 2010 tanpa kostum, sponsor, atau biaya pendaftaran.

Sekarang dia hanya memiliki satu tujuan: merayakan kebebasan bersepeda.

Gagasan ini terinspirasi dari Critical Mass di San Francisco, sebuah gerakan global yang memperjuangkan ruang lebih adil bagi pesepeda.

Perjalanan JLFR pun berkembang alami. Dari yang awalnya puluhan peserta, bertambah menjadi ratusan, hingga kini mampu menarik ribuan pesepeda.

Bahkan pada edisi ke-185 di September 2025, tercatat hampir 5.000 orang ikut meramaikan dan membuat ruas-ruas jalan utama Jogja berubah menjadi lautan kayuhan sepeda.

Ribuan Pesepeda Ramaikan Jogja Last Friday Ride

Bagi banyak orang, Jogja Last Friday Ride (JLFR) bukan hanya sekadar mengayuh sepeda bersama. Ada yang menganggapnya sebagai cara untuk bernostalgia dengan masa ketika Jogja dikenal sebagai “Kota Sepeda”.

Ada pula yang menjadikannya hiburan sederhana, sarana menambah teman, sekaligus pengingat bahwa jalanan bukan hanya hak milik kendaraan bermotor.

“Sepeda itu aman, tidak membahayakan, dan ramah lingkungan. Kita ingin Jogja tetap punya ruang untuk pejalan kaki dan pesepeda,” ujar salah satu aktivis ruang kota, dikutip dari Visiting Jogja.

Lebih dari itu, JLFR juga menghadirkan pesan simbolis: ribuan orang turun ke jalan dengan sepeda mereka untuk menunjukkan kerinduan akan kota yang manusiawi.

Kota dengan trotoar yang nyaman, jalur sepeda yang aman, serta transportasi publik yang layak.

Antusiasme vs Tantangan

Selain menyehatkan, JLFR telah menumbuhkan kembali budaya bersepeda di tengah masyarakat.

Ia menjadi contoh nyata gerakan organik yang lahir dari warga dan patut dibanggakan.

Namun, lonjakan jumlah peserta belakangan ini menimbulkan tantangan baru.

Ribuan sepeda yang tumpah ke jalan kadang menimbulkan kemacetan di titik-titik tertentu.

Agar tetap tertib dan aman, kegiatan ini perlu diatur dengan manajemen lalu lintas yang baik, melibatkan berbagai pihak demi kenyamanan bersama.

Bagi wisatawan, JLFR menawarkan pengalaman yang sulit dijumpai di kota lain.

Bayangkan suasana malam Jogja ketika ribuan pesepeda dari berbagai latar belakang menyusuri Malioboro, Tugu, hingga kawasan kampus.

Semua bercampur dalam suasana hangat, penuh tawa, dan meriah—cermin dari wajah Jogja itu sendiri.

Semangat JLFR pun menular ke berbagai kota di Indonesia, dari Solo hingga Tangerang.

Meski begitu, Jogja tetap menjadi pionir dan pusat inspirasi dari gerakan ini.

Lebih dari sekadar event bulanan, JLFR kini telah menjelma menjadi bagian dari kultur Jogja.

Ia merepresentasikan kota yang egaliter, kreatif, dan terbuka bagi siapa pun.

Jogja bukan hanya kota pelajar dan budaya, tetapi juga kota yang berkomitmen menjaga ruang publik tetap hidup.

Maka, jika Anda kebetulan berada di Jogja pada Jumat terakhir setiap bulan, jangan lewatkan kesempatan untuk ikut bergabung.

Sewa sepeda, siapkan energi, dan nikmati sendiri bagaimana JLFR membuat Jogja terasa lebih hangat, ramah, dan manusiawi.