Dari Patih ke Pemerintahan Modern: Sejarah Keraton Yogyakarta Tanpa Patih
HAIJOGJA.COM – Keraton Yogyakarta memiliki raja, tetapi kini tidak lagi didampingi patih.
Bagaimana ceritanya bisa begitu?
Saat ini, yang memimpin Keraton Jogja adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Di kompleks keraton, terdapat pusat pemerintahan Pemda DIY dengan birokrasi yang kini disebut sebagai ‘badan’, seperti kantor Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) DIY serta Paniradya Kaistimewaan.
Sejarah Keraton Yogyakarta Tanpa Patih
Menurut laman resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta melanjutkan tradisi pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.
Salah satu ciri khasnya adalah keberadaan Patih atau Pepatih Dalem, setara dengan perdana menteri.
Di Kesultanan Yogyakarta, Patih Dalem dikenal dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I dan berkedudukan di wilayah yang disebut Kepatihan.
Pada masa kolonial Belanda, sebelum resmi menjadi raja, Sultan harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial.
Salah satu poin penting kontrak itu mengatur keberadaan patih.
Menurut Ikra Widya, Arsiparis DPAD DIY, selain membantu Sultan, Pepatih Dalem juga berperan sebagai penghubung antara keraton dan pemerintah kolonial.
“Jadi kalau misal Keraton punya kebijakan, kan harus diselaraskan sama Belanda, Belanda mau apa ndak gitu. Nah makanya ada patih Danurejo yang bertugas untuk memfasilitasi,” jelas Ikra, dikutip dari Detik.
Pada 1940, menjelang pengangkatannya, Sultan Hamengku Buwono IX awalnya enggan menandatangani kontrak politik dengan Belanda.
“Ngarsa Dalem (Sultan HB) ke-9 itu tidak merasa sreg, karena apa pun kebijakan Keraton pasti disetir dari Belanda. Sebenarnya beliau pada saat mau membuat kontrak politik berpikir lama. Karena mendapat wangsit juga akhirnya ya udah ditandatangani,” kata Ikra.
Tahun 1942, Jepang menggantikan Belanda di Indonesia.
Berbeda dari Belanda, Jepang memberi otoritas penuh pada keraton untuk menjalankan pemerintahan sendiri, meski tetap diawasi.
Dengan kebijakan ini, otomatis peran Patih Danureja hilang. Namun, Sultan HB IX tetap menugaskan Patih Danureja hingga purna tugas pada 1944 sebagai bentuk penghormatan.
Setelah itu, Proklamasi Kemerdekaan terjadi.
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung dengan NKRI, membentuk Provinsi DIY.
Kompleks Kepatihan pun dijadikan pusat pemerintahan sekaligus kantor Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
“Setelah bergabung akhirnya membuat birokrasi pemerintahan sendiri sebagai daerah. Yang tadinya berkantor sendiri, akhirnya semua berkantor di Kepatihan, ada semacam jawatan-jawatan sendiri,” ujar Ikra.