<span;>Gaji DPR<span;>Gaji DPR Meroket Picu Demo 25 Agustus, Akademisi UGM: Sangat Tidak Empatik<span;>Gaji DPR Meroket Picu Demo 25 Agustus, Akademisi UGM: Sangat Tidak EmpatikHAIJOGJA.COM — Akademisi UGM menyoroti minimnya kepekaan sosial para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menanggapi polemik di masyarakat, khususnya berkaitan dengan protes tingginya gaji dan tunjangan DPR.

Pada tahun 2025 saja, gaji anggota DPR mengalami peningkatan signifikan hingga menyentuh angka Rp 230 juta per bulan, ditambah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan.

Total anggaran negara yang dialokasikan untuk 580 anggota DPR pun mencapai Rp 1,6 triliun.

Kenaikan ini memicu reaksi publik, terutama karena perbedaan penghasilan yang sangat mencolok dibandingkan dengan rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang berkisar Rp 6,5 juta per bulan.

Jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan masyarakat, selisihnya mencapai 35,4 kali lipat.

Menanggapi hal tersebut Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.I.P., M.A. menilai, kenaikan gaji anggota DPR menunjukkan kurangnya empati terhadap rakyat.

Mengingat, masyarakat saat ini tengah dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang sulit.

Tak hanya itu, hal ini sekaligus menimbulkan persoalan dalam hal keadilan finansial.

Ia membandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Filipina, di mana rasio gaji wakil rakyat terhadap upah minimum tidak setimpang di Indonesia.

“Kondisi ini makin diperparah ketika kondisi perekonomian masyarakat sedang sulit, rakyat tidak punya pilihan atas pekerjaan dan gaji yang layak, serta minimnya keteladanan politisi,” ujarnya pada Selasa, 26 Agustus 2025.

Kesenjangan penghasilan antara anggota DPR dengan masyarakat umum dapat berdampak buruk terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif maupun partai politik.

Menurut Alfath, kondisi ini memperkuat sikap apatis masyarakat terhadap proses politik.

Ia menambahkan, “Rendahnya kapasitas individu hingga produktivitas kinerja DPR membuat rakyat muak dan memilih abai pada proses politik, membuat demokrasi yang minim partisipasi,” jelasnya.

Aksi demonstrasi yang berlangsung pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI menjadi cerminan nyata kesenjangan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap para anggota DPR bahkan partai politik.

Kondisi rakyat yang kesulitan secara ekonomi, sementara para pejabat politik dinilai tidak menunjukkan empati.

Dalam situasi tersebut, Alfath menekankan pentingnya pengurangan privilese bagi anggota DPR dan pejabat publik.

Ia menyarankan agar pemerintah dan DPR mencontoh negara-negara maju seperti Swedia dan Belanda, yang justru mengurangi hak-hak istimewa pejabatnya demi menjaga kepercayaan publik.

“Menjadikan profesi sebagai wakil rakyat bukan sebagai profesi istimewa, melainkan sebagai profesi yang berisi orang-orang yang passion untuk membuat kebijakan publik,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Alfath juga menyoroti kurangnya ekspos terhadap calon legislatif pada pemilu serentak sebelumnya.

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa proses seleksi anggota DPR tidak memberikan ruang yang cukup bagi publik untuk menguji kapasitas, kompetensi, dan program kerja mereka secara terbuka.

Kondisi ini menjadi salah satu penghambat terciptanya politik yang lebih programatik dan transparan.