HAIJOGJA.COM – Salah satu stasiun di Yogyakarta memiliki nilai historis yang sangat tinggi karena menjadi saksi bisu perkembangan transportasi kereta api sejak era kolonial.

Bangunannya menampilkan arsitektur khas Belanda dengan sentuhan klasik yang masih dipertahankan hingga kini.

Stasiun ini pernah menjadi jalur vital penghubung antardaerah, terutama dalam distribusi logistik dan pergerakan orang pada masa-masa penting sejarah Indonesia.

Suasana di sekitar stasiun pun masih terasa kuat nuansa masa lampau, menjadikannya destinasi menarik bagi pencinta sejarah dan fotografi.

Lebih dari sekadar tempat naik-turun penumpang, stasiun ini telah melalui berbagai fase penting, termasuk masa pendudukan asing dan perjuangan kemerdekaan.

Di masa lalu, area sekitar stasiun menjadi pusat aktivitas ekonomi dan budaya, dengan banyak bangunan tua yang masih berdiri hingga sekarang.

Tak jarang, stasiun ini digunakan sebagai latar dalam karya sastra atau film bertema sejarah.

Keberadaannya tidak hanya memperkuat identitas kota, tetapi juga menjadi simbol perjalanan panjang bangsa dalam membangun sistem transportasi yang modern.

7 Stasiun di Yogyakarta yang Menarik Bagi Wisatawan

Berikut adalah 7 stasiun di Yogyakarta yang penuh sejarah dan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan:

1. Stasiun Tugu (Yogyakarta)

Stasiun Tugu (Yogyakarta) (source: Google)

Stasiun Tugu Yogyakarta, yang resmi bernama Stasiun Yogyakarta (YK), dibuka pada 2 Maret 1887 oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Stasiun ini dibangun sebagai bagian dari pengembangan jalur kereta api yang menghubungkan Semarang–Solo–Yogyakarta, dan menjadi titik penting dalam jaringan transportasi wilayah selatan Jawa.

Pada masa kolonial, Stasiun Tugu melayani penumpang dari kalangan bangsawan, pejabat pemerintah, dan orang Belanda, sementara masyarakat umum biasanya menggunakan Stasiun Lempuyangan.

Karena itu, dari awal, Stasiun Tugu dibangun dengan nuansa arsitektur kolonial yang megah, lengkap dengan fasilitas mewah untuk zamannya.

Lokasinya yang strategis di pusat kota dan dekat kawasan Malioboro menjadikan stasiun ini cepat berkembang menjadi pusat mobilitas ekonomi dan budaya.

Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Stasiun Tugu juga memegang peran penting dalam pergerakan pasukan dan logistik.

Setelah Indonesia merdeka, stasiun ini terus berkembang dan mengalami beberapa renovasi, meskipun bagian depan bangunan utama masih dipertahankan seperti aslinya sebagai cagar budaya.

Kini, Stasiun Tugu menjadi simbol kota Yogyakarta sekaligus ikon sejarah perkeretaapian nasional, yang masih aktif melayani ribuan penumpang setiap harinya, baik kereta antarkota maupun lokal.

2. Stasiun Lempuyangan

Stasiun Lempuyangan (source: Google)

Stasiun Lempuyangan merupakan stasiun kereta api tertua di Yogyakarta, yang diresmikan pada 2 Maret 1872 oleh perusahaan kereta api swasta Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Pendirian stasiun ini menjadi tonggak awal kehadiran transportasi rel di wilayah Yogyakarta dan bagian penting dari jalur kereta Semarang–Solo–Yogyakarta, yang merupakan jalur kereta api pertama di Jawa Tengah bagian selatan.

Berbeda dengan Stasiun Tugu yang kala itu dikhususkan untuk penumpang kelas atas dan pejabat kolonial, Stasiun Lempuyangan dibangun untuk melayani penumpang kelas menengah ke bawah serta untuk kebutuhan pengangkutan barang.

Karena itulah, dari awal, stasiun ini memiliki desain yang lebih sederhana, namun tetap fungsional.

Letaknya yang berada di sisi timur pusat kota menjadikannya sangat strategis dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk distribusi hasil pertanian dan kebutuhan logistik.

Selama masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan, Stasiun Lempuyangan berperan penting dalam pengangkutan logistik dan mobilisasi rakyat.

Setelah kemerdekaan, stasiun ini terus melayani kereta api kelas ekonomi dan menjadi favorit kalangan pelajar, mahasiswa, serta backpacker karena tarif yang terjangkau.

Meski telah mengalami renovasi modern, bangunan aslinya tetap dijaga, menjadikannya sebagai situs bersejarah yang mencerminkan perjalanan panjang perkeretaapian Indonesia.

3. Stasiun Sentolo

Stasiun Sentolo (source: Google)

Stasiun Sentolo terletak di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dibangun pada masa kolonial Belanda sebagai bagian dari pengembangan jalur kereta api lintas selatan Jawa oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.

Stasiun ini mulai beroperasi pada awal abad ke-20, dan menjadi salah satu simpul penting dalam jalur penghubung antara Yogyakarta, Kutoarjo, dan Purworejo.

Keberadaan Stasiun Sentolo sangat strategis karena terletak di perpotongan jalur utama dan percabangan ke arah Purworejo–Kebumen (yang kini sudah nonaktif).

Pada masa lalu, stasiun ini digunakan untuk angkutan penumpang dan barang, terutama hasil bumi dan komoditas pertanian dari wilayah Kulon Progo dan sekitarnya.

Stasiun ini juga turut mendukung aktivitas ekonomi masyarakat pedesaan yang bergantung pada transportasi kereta api.

Meski kini aktivitasnya lebih terbatas, Stasiun Sentolo tetap melayani kereta penumpang dan menjadi penanda sejarah perkembangan perkeretaapian di wilayah barat Yogyakarta.

Nuansa klasik bangunan, serta jejak rel-rel lama yang tersisa dari jalur percabangan, menjadikannya menarik bagi penggemar sejarah dan kereta api.

Stasiun ini juga mencerminkan pentingnya peran transportasi rel dalam mendorong konektivitas wilayah-wilayah agraris pada masa lampau.

4. Stasiun Wates

Stasiun Wates (source: Google)

Stasiun Wates merupakan stasiun kereta api yang berada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan telah berdiri sejak awal abad ke-20, dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.

Stasiun ini berada di jalur strategis lintas selatan Jawa yang menghubungkan Yogyakarta dengan Kutoarjo dan Purwokerto, serta menjadi pintu masuk utama ke wilayah barat DIY melalui transportasi rel.

Sejak masa kolonial, Stasiun Wates berperan penting dalam mengangkut hasil pertanian, perkebunan, dan barang kebutuhan pokok dari daerah pedalaman ke kota-kota besar.

Selain itu, stasiun ini juga menjadi pusat mobilitas warga, terutama pada masa penjajahan dan kemerdekaan, saat transportasi kereta api menjadi sarana utama bagi rakyat dan logistik perjuangan.

Lokasinya yang berada di ibu kota kabupaten menjadikan stasiun ini sebagai pusat pergerakan masyarakat Kulon Progo.

Hingga kini, Stasiun Wates masih aktif melayani kereta api penumpang, baik lokal maupun antarkota.

Dengan bangunan lama yang masih berdiri kokoh, stasiun ini menyimpan jejak sejarah panjang perkeretaapian di wilayah barat Yogyakarta.

Bagi wisatawan, keberadaan Stasiun Wates juga penting karena menjadi akses menuju berbagai destinasi wisata seperti Pantai Glagah, Waduk Sermo, dan Bandara YIA, yang kini terhubung lewat layanan kereta bandara.

5. Stasiun Rewulu

Stasiun Rewulu (source: Google)

Stasiun Rewulu, yang terletak di Desa Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul (DIY), dibangun oleh Staatsspoorwegen pada sekitar tahun 1877 sebagai bagian dari jalur kereta Yogyakarta–Maos (lanjutan dari jalur Solo–Yogyakarta sepanjang ±155 km).

Terletak di ketinggian +88 m di atas permukaan laut, stasiun ini awalnya melayani penumpang serta logistik umum.

Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah Depo Pertamina dibangun di dekatnya pada tahun 1972 dan beroperasi tahun 1973, fungsinya beralih menjadi stasiun pengangkut bahan bakar minyak (BBM) seperti solar, premium, dan avtur, serta sebagai stasiun persusulan antar kereta api.

Meski tidak lagi melayani penumpang, Stasiun Rewulu tetap beroperasi aktif sebagai stasiun BBM kelas I dan kini menjadi satu‑satunya stasiun kereta api yang berfungsi di wilayah Kabupaten Bantul.

Area sekitarnya berkembang menjadi tempat nongkrong favorit masyarakat, khususnya di sore hari, dengan jajanan kaki lima dan pemandangan kereta BBM yang melintas menjadi daya tarik bagi fotografer dan penggemar kereta api.

Banyak warga, terutama anak-anak dan keluarga, datang untuk menikmati suasana unik ini sembari menunggu kereta lewat.

6. Stasiun Maguwo

Stasiun Maguwo (source: Google)

Stasiun Maguwo awalnya dibuka pada 1 April 1909 oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sebagai bagian dari pengembangan jalur kereta api Solo–Yogyakarta dan Semarang–Vostenlanden.

Beberapa tahun sebelumnya, lokasi ini sudah berfungsi sebagai persilangan antarkereta dan tempat bongkar muat gerbong pupuk serta ketel avtur menuju Bandara Maguwo (Adisutjipto).

Pada tahun 1926, stasiun ini diperluas untuk meningkatkan kapasitas bongkar muat barang seperti gula dan pupuk, serta mengakomodasi lalu lintas kereta jarak jauh.

Seiring berjalannya waktu, peran Stasiun Maguwo semakin berkembang.

Pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1948, stasiun ini digunakan sebagai pusat pengangkutan pasukan Belanda yang mendarat terjun payung di Landasan Udara Maguwo.

Setelah proyek jalur ganda Yogyakarta–Solo tuntas pada 8 Januari 2007, PT KAI membangun stasiun baru beberapa ratus meter di sebelah timur dan memulai uji coba operasional pada 2 Juni 2008.

Bangunan stasiun lama kemudian resmi dihentikan penggunaannya dan ditetapkan sebagai cagar budaya oleh KAI karena nilai sejarahnya yang tinggi.

7. Stasiun Patukan

Stasiun Patukan (source: Google)

Stasiun Patukan (kode PTN), terletak di Dusun Patukan, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.

Dibangun oleh Staatsspoorwegen sebagai bagian dari jalur Yogyakarta–Maos pada tahun 1887, stasiun ini berada pada elevasi +88 m dan menjadi stasiun paling barat di Kabupaten Sleman.

Awalnya memiliki lima jalur dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus lintas ganda Solo–Kutoarjo, sedangkan jalur lain digunakan untuk penyusulan atau simpanan kereta.

Dulu juga terdapat percabangan menuju Pabrik Gula Demakijo, namun jalur tersebut kini sudah ditutup setelah pabrik berganti fungsi dan jalurnya dilewati pembangunan Ring Road Barat Yogyakarta.

Saat ini, meski tidak ada kereta reguler yang berhenti di stasiun ini—kecuali dalam kondisi penyusulan atau antrean penuh di Stasiun Yogyakarta atau Lempuyangan—Stasiun Patukan sering menjadi tempat berkumpul masyarakat sekitar pada sore hari.

Area sekitar rel menjadi ruangan terbuka yang dimanfaatkan untuk nongkrong, jajanan kaki lima, dan menunggu kereta lewat, menciptakan suasana akrab dan bernuansa lokal yang menarik bagi penggemar kereta api dan fotografi kehidupan urban.

Pengunjung juga bisa melihat pesawat mendarat dari kejauhan karena lokasi stasiun yang sejajar dengan landasan Bandara Adisutjipto—menjadikannya titik unik untuk spot foto transportasi multimoda.