Warisan Bunga Mbah Cokrojoyo: Ngatiyem Teruskan Tradisi Suci dari Godean ke Ngluwar
HAIJOGJA.COM – Saat itu, Kamis (16/10/2025), gerimis membasahi Jalan Trayem dari Magelang ke Muntilan.
Sejak siang hari, wilayah itu diselimuti awan mendung.
Ngatiyem, seorang ibu yang memiliki tiga anak tengah, pergi ke pekuburan di kampung Kauman, Ngluwar.
Ia adalah seorang pedagang bunga yang datang ke sana untuk mengantarkan pesanan bunga ke makam orang tuanya.
Ngatiyem menanam banyak bunga mawar segar di kebun rumahnya dan selalu mengirimkan bunga segar setiap sore untuk memastikan bahwa orang akan menikmatinya.
Ia memperoleh bisnis bunga ini dari ibunya, Simbah Cokrojoyo, yang berasal dari Godean.
Ibunya pernah bekerja di pasar Godean menjual bunga dan genteng sebelum menikah dan diboyong ke rumahnya di Kauman, Ngluwar, Magelang.
Warisan Bunga Mbah Cokrojoyo
Ngatiyem terus menjalankan usaha ini bersama suaminya sejak Mbah Cokrojoyo meninggal pada tahun 2023.
Saat tidak ada kesibukan sekolah, ketiga anaknya juga kadang-kadang membantu.
“Terus mbok (ibu, red) saya meninggal kemarin tahun 2023. Kemarin Oktober tanggal 4 itu pas 1.000-nya (hari). Nah, terus alhamdulillah di sini setiap hari Kamis malam Jumat itu banyak pelanggan yang beli untuk ke ke makam. Sama sajen-sajen itu biasane malam Jumat Kliwon sama Selasa Kliwon,” ujar Ngatiyem, dikutip dari RRI.
Orang-orang sering datang ke rumah Ngatiyem dari jauh untuk membeli bunga, minyak, dan kemenyan.
Jika mereka hanya mendengar tentang Kembang Mbah Cokrojoyo, semua orang akan menuju ke rumah Ngatiyem di sudut Kampung Kauman.
Bagi Ngatiyem, melakukan pekerjaan ini adalah salah satu cara dia berterima kasih kepada orang tuanya.
Selain itu, mengingat kebutuhan bunga di dunia spiritual, dia juga ingin membantu orang-orang memenuhi kebutuhan mereka.
Bunga dan peralatan ewuh yang biasa digunakan orang Jawa saat kelahiran, kematian, musim panen, dan peristiwa spiritual lainnya dijual.
“Apa ya curhat ada keluhan sakit seperti ini-ini terus diarahkan untuk beli bunga di tempatnya Mbah Cokro. Karena Mbah Cokro sudah enggak ada terus bilang yang ngurus itu anaknyaTerus ya sampai getok telur sana-sana alhamdulillah sampai sekarang ya seperti ini,” kata Ngatiyem.
Menurut Ngatiyem, ada malam-malam tertentu di mana ia harus berjaga untuk menunggu pelanggan, ini terjadi ketika malam itu dianggap khusus bagi orang Jawa, atau ketika seseorang meninggal di tengah malam.
“Iya, kalau malam saya tetap sedia yang baru. Masalahnya ada Sripah (Orang meninggal) dadakan itu malam tetap ke sini. Ya, kan kadang orang Tempel pun ke sini kok belinya bunga untuk sripah,” ujar Ngatiyem, menambahkan.
Ngatiyem berharap salah satu dari ketiga anaknya akan mengambil alih bisnis keluarganya.
Mereka semuanya laki-laki, tetapi apa yang telah mereka lakukan selama ini cukup untuk membantu keluarga dan sesama.
“Anak saya itu kebetulan laki semua ya. Jadi saya mengharapkan anak yang nomor dua itu kalau bisa dapat anu apa ya enggak usah jauh-jauh. Jadi asli desa gitu loh kan tahu bunga-bunga itu. Tapi kalau dapat orang kota kan dia enggak anu toh. Tapi yang kuoso aja yang cuma niate keinginannya seperti itu,” kata Ngatiyem.
