Viral Fenomena Job Hugging, Guru Besar UGM Sebut Faktor Ketidakpastian Pasar Kerja
<span;>Viral <span;>Fenomena Job HuggingHAIJOGJA.COM — Fenomena job hugging kini menjadi diskursus baru di kalangan para pekerja.
Istilah baru yang menjadi viral di media sosial ini diam-diam menjadi pertanda situasi yang mengkhawatirkan.
Pasalnya, hal ini berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Apa itu Fenomena Job Hugging?
Fenomena job hugging merupakan kecenderungan untuk tetap mempertahankan pekerjaan, meski telah kehilangan minat dan motivasi dalam bekerja di perusahaan tersebut.
Kondisi ini rupanya tidak hanya dihinggapi oleh satu atau dua orang saja, tapi sebagian masyarakat Indonesia kini tengah mengalaminya.
Biasanya, seorang terpaksa melakukan job hugging lantaran tidak adanya kepastian lapangan kerja baru di luar sana.
Mereka pun mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti akan segera mendapatkan pekerjaan baru demi melanjutkan kehidupan.
Tidak hanya itu, kini juga masyarakat Indonesia tengah dihadapkan dengan ancaman PHK Massal yang makin marak.
Faktor tekanan ekonomi yang ada pun semakin memberatkan masyarakat.
Faktor Penyebab Job Hugging
Pengamat ketenaagakerjaan sekaligus Guru Besar Fisipol UGM Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.A. menjelaskan fenomena ini bukanlah hal baru dan sudah ada sejak lama.
Kondisi pasar kerja yang sulit membuat masyarakat cenderung bertahan pada pekerjaannya.
“Mencari pekerjaan baru memiliki risiko yang tinggi, maka mereka cenderung memilih bertahan,” ujarnya pada Rabu (17/9).
Faktor keamanan finansial dan stabilitas juga menjadi alasan utama dalam praktik job hugging, meski pekerjaan yang dijalani tidak sesuai harapan.
“Berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan,” katanya, mengilustrasikan situasi pekerja saat ini dengan pepatah tersebut.
Maka dari itu, bertahan di pekerjaan saat ini dinilai menjadi pilihan terbaik dibanding mengambil risiko besarnya.
“Lebih baik bertahan dengan pekerjaan yang ada saat ini daripada mengambil keputusan yang cukup berisiko dan belum pasti untuk kedepannya,” tambahnya.
Menurut Prof. Tadjuddin, kondisi pasar kerja selama lima tahun terakhir cukup tidak menentu, dengan angka pengangguran yang tinggi, daya beli menurun, dan laju ekonomi melambat.
Hal ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja baru, terutama bagi fresh graduate.
“Nah, inilah yang menyebabkan tingginya angka pengangguran. Saat ini mencapai 7,4 persen dan tertinggi di Asia Tenggara. Mayoritas dari pengangguran adalah usia pencari kerja antara usia 15 – 24 tahun,” paparnya.
Dibanding keluar dari pekerjaannya, banyak pekerja memilih menambah pekerjaan sampingan.
Mengingat risiko meninggalkan pekerjaan utama untuk mencari pekerjaan baru yang belum pasti lebih mengkhawatirkan.
“Masyarakat lebih memilih untuk menambah pemasukan dari pekerjaan sampingan seperti freelance atau bisnis kecil-kecilan,” tutupnya.