HAIJOGJA.COM — Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) buka suara mengenai penyitaan sejumlah buku dalam penangkapan aktivis literasi di Kediri, Jawa Timur.

Menurut pihaknya, penyitaan buku oleh aparat ini tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan HAM.

Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dan Legislasi KemenHAM Prof. Dr. Rumadi Ahmad, M.Ag. menyampaikan keprihatinan atas kejadian ini.

Ia menegaskan bahwa tindakan pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Kediri kurang tepat.

“Langkah tersebut tidak sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto bahwa dalam penanganan aksi aparat harus memperhatikan Hak Asasi Manusia,” ungkap Rumadi dalam keterangan tertulis di Jakarta, 23 September 2025.

Ia mengingatkan kembali pernyataan Prabowo mengenai kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah diakui oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Selain itu, kejadian ini juga bertentangan dengan visi presiden dalam Asta Cita pertama, yakni menekankan penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM.

“Tindakan penyitaan buku justru berpotensi menginterupsi upaya pemerintah dalam memperkuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM,” tandasnya.

Fatalnya lagi, pelarangan atau perampasan buku akan merusak tradisi literasi di masyarakat yang bahkan saat ini masih rendah.

“Kepolisian tidak boleh mengambil langkah eksesif yang merugikan tradisi membaca, karena membaca merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Rumadi.

Sebagaimana dikatakannya, “Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan pentingnya membangun dan menjaga tradisi membaca.”

Rumadi menilai bahwa peristiwa inisemakin menunjukkan urgensi reformasi Kepolisian RI.

Menurutnya, reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada aspek artifisial semata.

“Melainkan, harus menyentuh hal-hal substansial, termasuk perubahan state of mind aparat agar lebih demokratis, profesional, dan menghormati HAM,” pungkasnya.