HAIJOGJA.COM – Pemda DIY telah menyiapkan rencana Pembangunan Kepariwisataan DIY 2026–2045, dengan menetapkan sejumlah kawasan wisata strategis sebagai fokus utama.

Para pengamat pun memberi masukan agar arah pembangunan pariwisata Yogyakarta ke depan lebih menitikberatkan pada Wisata Berbasis Komunitas (WBK) agar manfaat ekonominya benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat.

Hal ini disampaikan oleh Sigit Pramono Suryo, pegiat tata kelola sekaligus Ketua Indonesian Institute for Corporate Directorship, dalam kegiatan Rakordal DIY bertema.

Menurutnya, strategi utama pariwisata di masa depan adalah menerapkan konsep WBK, sebagaimana diarahkan oleh UNESCO dan ASEAN Tourism Plan untuk negara-negara berkembang.

“Sudah tidak perlu bangun hotel dan restoran, Jogja sudah kebanyakan. Kita harus bangun wisata berbasis komunitas,” katanya, dikutip dari Harian Jogja.

Sigit menegaskan, prinsip utama WBK adalah tourism by the people, for the people, with the people, pariwisata yang dijalankan oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan bersama masyarakat.

Konsep ini menjamin agar sektor pariwisata memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya yang nyata bagi warga lokal.

“WBK mendukung pencapaian SDGs 8, 11, dan 12 yakni pertumbuhan inklusif, kota berkelanjutan, konsumsi bertanggung jawab,” paparnya.

Ia juga menilai bahwa transformasi pariwisata Jogja perlu dilakukan melalui berbagai langkah, salah satunya penguatan calendar of event.

Perlu sistem kurasi yang baik untuk menentukan 10 event unggulan.

“Dengan sistem kurasi yang lebih baik, untuk menetapkan 10 event unggulan. Calendar of event harus dikomunikasikan ke publik terutama ke para pelaku pariwisata, sebelum tahun program dimulai,” kata dia.

Selain itu, ia menyoroti pentingnya menjaga kebersihan fasilitas publik, terutama toilet umum. Terinspirasi dari gerakan Tandas Bersih di Malaysia dan Jeding Rijik di Banyuwangi, Sigit mengusulkan agar Pemda DIY mencanangkan gerakan “Jamban Resik” sebagai bagian dari transformasi pariwisata.

“Pemda DIY diusulkan mencanangkan gerakan ‘Jamban Resik’ sebagai bagian dari transformasi.

Toilet umum di BI di Titik 0 KM bisa menjadi salah satu benchmark gerakan ini,” ungkapnya.

Lebih dari sekadar memperbaiki fasilitas, gerakan ini juga diharapkan menjadi simbol penyucian perilaku, lingkungan, dan tata kelola ruang publik yang mencerminkan nilai budaya Jawa.

“Menyediakan fasilitas toilet yang nyaman, wangi, ramah disabilitas, dan sesuai standar BMW atau bersih, menarik, wangi,” katanya.

Sigit juga menekankan perlunya peningkatan budaya tertib dan disiplin, terutama di kawasan publik seperti Malioboro.

Ia mendorong pembangunan transportasi umum yang bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, khususnya di kawasan sumbu filosofis, demi menekan kemacetan.

Sementara itu, Guru Besar Teknik Arsitektur dan Perancangan UGM, Wiendu Nuryanti, menyampaikan bahwa transformasi wisata DIY bisa difokuskan pada lima strategi besar:

  • Penataan koridor pantai selatan,
  • Penataan koridor kosmologis Merapi–pantai selatan,
  • Integrasi kawasan Prambanan–Plaosan–Ratu Boko,
  • Pengembangan destinasi wisata baru, dan
  • Pengelolaan kawasan wisata dengan model Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

“Di lereng Merapi, kenapa ekonomi lereng, tebing dan sungai belum jadi sumber ekonomi. Ada kawasan rawan bencana, namun bisa disiasati dengan perencanaan yang baik dan teknologi. Perlu dicermati lebih lanjut karena Merapi luar biasa potensi ekonominya,” ungkapnya.

Adapun Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menjelaskan bahwa visi besar dalam Pembangunan Kepariwisataan DIY 2026–2045 adalah mewujudkan, ‘Pariwisata yang berkualitas, berdaya saing, tingkat internasional, inklusif, berkelanjutan untuk mewujudkan DIY yang maju, sejahtera dan berkelanjutan dijiwai kebudayaan dan keistimewaan’

Kawasan strategis yang menjadi fokus pembangunan mencakup Gunung Merapi, Prambanan–Shiva Plateau, Sumbu Filosofi, Poros Mataram, Geopark Gunung Sewu, Pantai Selatan, dan Perbukitan Menoreh.

Made menjabarkan, pembangunan dilakukan dalam empat tahap:

  • Tahap I (2026–2029): Pembangunan fondasi pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.
  • Tahap II (2030–2034): Akselerasi pembangunan dengan peningkatan produktivitas.
  • Tahap III (2035–2039): Ekspansi untuk memperkuat daya saing internasional.
  • Tahap IV (2040–2045): Puncak pencapaian visi DIY sebagai destinasi pariwisata berkualitas dan berdaya saing global.