HAIJOGJA.COM – Pengamat politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias, menilai pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang peran perempuan dalam regenerasi Keraton Yogyakarta berkaitan erat dengan isu suksesi takhta Kasultanan Ngayogyakarta.

“Menurut saya regenerasi maksudnya spesifik suksesi,” kata Dardias saat dihubungi, Senin (27/10), dikutip dari CNN.

Menurutnya, sejak mengeluarkan Sabda Raja pada 2015, Sultan HB X terlihat konsisten mendorong putri sulungnya, GKR Mangkubumi, untuk menjadi penerusnya. Meski isu suksesi ini kerap naik turun, Dardias melihat arah Sultan sudah jelas.

“Beliau cukup konsisten, karena memang beliau secara prinsip ingin putrinya yang maju. Dan saya pernah interview 2015, gitu, ya, saya tanyakan itu. Kalau menurut beliau sih intinya ya, laku lakon. Selalu mengatakan begitu, jadi intinya, tergantung bagaimana yang mau dipasrahi, dalam konteks ini, berarti ya GKR Mangkubumi,” paparnya.

Sultan HB X Dorong GKR Mangkubumi Jadi Penerus?

Sultan HB X naik takhta pada 7 Maret 1989, menggantikan ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang wafat pada 3 Oktober 1988.

Isu pewarisan takhta kemudian mencuat karena Sultan tidak memiliki anak laki-laki. Dari lima anaknya, semuanya perempuan, sementara tradisi di lingkungan Keraton selama ini bersifat patrilineal.

Menurut Dardias, sejak Sabda Raja diterbitkan, pernyataan Sultan tentang regenerasi dan partisipasi perempuan yang kembali ia sampaikan pada Minggu (26/10) menjadi yang paling tegas dan menarik perhatian.

Ucapan itu seolah menghidupkan kembali wacana tentang kemungkinan lahirnya sultanah pertama dalam sejarah Mataram Islam.

Namun, Dardias menilai pernyataan Sultan kali ini bukan hal baru, melainkan penegasan atas sikap yang sudah disampaikan sejak 2015.

Hanya saja, konteksnya kini berbeda karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus kata “istri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, aturan yang sebelumnya dianggap bias gender karena mensyaratkan gubernur DIY harus laki-laki.

Lebih jauh, Dardias menilai bahwa GKR Mangkubumi dan saudari-saudarinya kini sudah berperan besar dalam kehidupan internal keraton.

Berbagai urusan dan departemen penting dipercayakan kepada mereka, membuat aktivitas keraton terlihat lebih dinamis dibanding beberapa tahun lalu.

Ia mencontohkan renovasi Museum Kereta Keraton Wahanarata yang kini tampil modern dengan teknologi digital dan laboratorium konservasi, serta penyelenggaraan Yogyakarta Royal Orchestra dan simposium budaya.

Perubahan signifikan juga tampak pada penataan tata naskah birokrasi Keraton Yogyakarta.

Meski begitu, Dardias menegaskan ada satu hal penting jika GKR Mangkubumi benar-benar naik takhta, gelarnya harus mengikuti nomenklatur resmi yang tercantum dalam UU Keistimewaan DIY, yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.

Selain faktor hukum, Dardias menilai perjalanan GKR Mangkubumi menuju takhta juga sangat dipengaruhi oleh sikap para adik Sultan HB X, terutama para pangeran yang masih berpegang pada paugeran atau adat keraton.

Dalam jurnalnya berjudul Menyiapkan Sultan Perempuan, Legitimasi Langit dan Efektivitas Rezim Sultan Hamengkubuwono X, Dardias menulis bahwa langkah Sultan HB X menyiapkan putrinya sebagai penerus sempat menimbulkan konflik internal antara dua kubu besar, Sultan beserta keluarganya melawan para adiknya, seperti GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, dan GBPH Pakuningrat.

Namun kini, lanjut Dardias, para adik Sultan sudah tidak lagi memegang posisi di dalam struktur keraton. “Isu ini sebenarnya lebih banyak di tingkat elit.

Warga Yogyakarta pada umumnya menerima saja. Sekarang, setahu saya, adik-adik Sultan sudah tidak terlibat lagi,” katanya.

Sebelumnya, dalam acara Forum Sambung Rasa Kebangsaan di Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, Minggu (26/10), Sultan HB X memang menyinggung soal keterlibatan perempuan dalam regenerasi Keraton Yogyakarta.

Dalam forum yang dihadiri sejumlah tokoh nasional seperti Mahfud MD dan Basuki Hadimuljono itu, Sultan menegaskan bahwa meski DIY masih memiliki sistem kerajaan, prinsip demokrasi tetap dijunjung tinggi.

“Saya pun banyak yang nanya, ‘lho, mestinya kan Jogja itu kan feodal, kan gitu, kerajaan. Kenapa demokrasinya tinggi?” kata Sultan, Minggu (26/10).

Sultan juga mengingatkan bahwa ia pernah menyampaikan di sidang MK tahun 2016 bahwa perempuan seharusnya juga bisa terlibat dalam proses regenerasi di keraton.

“Saya di MK untuk bicara wanita menjadi bagian dari bisa dimungkinkan untuk regenerasi di Keraton Jogja kok nggak boleh, itu gimana? Wong aturan itu di Keraton nggak ada. Tapi, saya tunduk pada republik,” ucap Sultan.

MK sendiri pada 2017 memutuskan untuk menghapus kata “istri” dalam aturan tentang pencalonan Gubernur DIY karena dianggap diskriminatif.

Namun pemerintah pusat, melalui Mendagri saat itu, Tjahjo Kumolo, menegaskan bahwa keputusan MK tersebut hanya menyangkut aspek administratif pemerintahan, bukan soal suksesi di Keraton Yogyakarta.

“Kami (berpatokan pada) undang-undang. Walau Yogyakarta daerah istimewa, keistimewaannya adalah Kasultanan Yogya dan Pakualaman,” kata Tjahjo di Semarang pada 8 September 2017.