Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa? Ini Sejarah dan Dasar Hukumnya
HAIJOGJA.COM – Sejak kolonial hingga kemerdekaan, Yogyakarta memiliki posisi unik sebagai kota budaya.
Bahkan dalam struktur pemerintahan kontemporer Indonesia, status istimewa ini diakui secara resmi.
Sebagaimana dikutip dari situs web resmi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, berikut adalah sejarah perjalanan Yogyakarta dari zaman Kasultanan hingga menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?
Sejarah modern Yogyakarta dimulai dengan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang merupakan momen penting dalam sejarah Yogyakarta.
Peristiwa tersebut berawal dari Perjanjian Giyanti tahun 1755, sebuah kesepakatan besar yang mengakhiri konflik internal di Mataram Islam sekaligus membuka babak baru pemerintahan di wilayah selatan Pulau Jawa.
Dikutip dari Kumparan, inilah beberapa peristiwa penting pada masa itu di antaranya:
- Pangeran Mangkubumi menjadi tokoh utama dalam perjanjian tersebut dan kemudian mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
- Kasultanan ini menerapkan sistem pemerintahan yang teratur dan berdaulat, dengan kekuasaan politik yang diakui secara resmi.
- Pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo, yang dikenal sebagai Adipati Paku Alam I, mendirikan Kadipaten Pakualaman sebagai bagian dari pemerintahan Yogyakarta.
Terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini sangat dipengaruhi oleh kehadiran dua lembaga ini, yaitu Kasultanan dan Kadipaten.
Masa Kolonial: Yogyakarta Tetap Mempertahankan Kedaulatan
Meski berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda, Yogyakarta tidak sepenuhnya kehilangan kedaulatannya.
Hal ini terlihat dari adanya sejumlah kontrak politik yang disepakati antara pihak Kasultanan dan pemerintah kolonial, di antaranya:
Kasultanan memiliki kontrak politik pada tahun 1877, 1921, dan 1940, sedangkan Kadipaten Pakualaman disebut memiliki kontrak resmi dalam Staatsblaad 1941.
Yogyakarta diakui oleh pemerintah Belanda sebagai “zelfbesturende landschappen”, yang berarti kerajaan dengan hak untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri.
Pengakuan ini memungkinkan Kasultanan dan Kadipaten untuk mempertahankan sistem pemerintahan internal mereka meskipun berada di bawah payung kekuasaan Hindia Belanda.
Masa Pendudukan Jepang: Awal Pengakuan Keistimewaan
Saat Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta justru mendapatkan pengakuan resmi sebagai Daerah Istimewa, yang saat itu disebut Kooti.
Pemerintahan Yogyakarta kala itu dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Koo atau kepala daerah.
Dalam struktur Kooti, wilayah Yogyakarta dibagi ke dalam beberapa unit pemerintahan, masing-masing dengan pejabat yang bertanggung jawab mengelola administrasi secara mandiri.
Pengakuan dari Jepang ini menjadi salah satu tonggak awal terbentuknya status istimewa Yogyakarta di kemudian hari.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan: Yogyakarta Bersatu dengan Republik Indonesia
Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Yogyakarta mengambil langkah besar yang menegaskan komitmennya terhadap Republik.
Beberapa keputusan penting pada masa itu antara lain:
- Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara resmi menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
- Wilayah Kasultanan dan Kadipaten kemudian dilebur menjadi satu entitas baru bernama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
- Kepemimpinan daerah diserahkan langsung kepada Sultan sebagai Kepala Daerah dan Paku Alam sebagai Wakil Kepala Daerah, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Langkah bersejarah tersebut diperkuat dengan beberapa dokumen penting, di antaranya:
- Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang ditandatangani Presiden RI pada 19 Agustus 1945.
- Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang masing-masing dikeluarkan pada 5 September 1945.
- Amanat bersama Sri Sultan dan Paku Alam pada 30 Oktober 1945, yang menegaskan posisi Yogyakarta sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia.
Status Daerah Istimewa Yogyakarta
Keistimewaan Yogyakarta berakar dari sejarah panjangnya yang unik dan berbeda dari daerah lain di Indonesia.
Yogyakarta mampu berubah menjadi kerajaan dengan pemerintahan tradisional dan berkembang menjadi wilayah dengan pemerintahan modern yang diakui secara nasional.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan pengakuan resmi atas status istimewa DIY.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi DIY untuk mengatur urusan pemerintahan dan melaksanakan kewenangan khusus yang diberikan oleh statusnya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 menambah peraturan tersebut. Undang-undang ini menetapkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah setingkat provinsi dan mencakup wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Landasan Hukum Keistimewaan Yogyakarta
Untuk menyesuaikan dengan dinamika pemerintahan modern, sekaligus mempertegas kedudukan istimewanya, pemerintah kemudian mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Undang-undang ini disetujui pada 31 Agustus 2012 dan resmi diundangkan pada 3 September 2012.
Regulasi tersebut menjadi fondasi utama bagi Yogyakarta dalam menyelenggarakan pemerintahan yang memiliki karakter khas menggabungkan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal dengan sistem pemerintahan modern, menjadikannya berbeda dari provinsi lain di Indonesia.