HAIJOGJA.COM — Mantan Mentero Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa Yogyakarta merupakan barometer kondisi nasional.

Menurut Parampara Praja DIY tersebut, apabila situasi di Jogja memanas, biasanya akan berpengaruh pada daerah lain di Indonesia.

Sebaliknya, jika situasi di Jogja tetap tenang dan kondusif, maka iklim stabilitas nasional juga akan lebih mudah dipertahankan.

“Yogyakarta itu barometer. Kalau Yogyakarta panas, biasanya seluruh Indonesia ikut panas. Kalau Yogyakarta dingin, biasanya semua juga bisa berharap dingin. Oleh sebab itu mari kita jaga Yogyakarta agar tidak timbul situasi yang chaos,” ujar Mahfud MD saat menghadiri acara di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (04/09/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud menanggapi insiden pelemparan bom molotov dan batu ke beberapa pos polisi di Yogyakarta yang terjadi pada Kamis pagi.

Ia menilai insiden tersebut menjadi ujian nyata bagi masyarakat dan aparat untuk menjaga ketertiban umum di tengah situasi yang masih dinamis.

Maka dari itu, Mahfud kembali mengingatkan masyarakat Jogja agar menjaga ketertiban dan tidak terprovokasi oleh berbagai isu yang beredar.

Tudingan Pemerintah soal Makar Harus Dibuktikan

Selain itu, Mahfud juga memberikan perhatian khusus terhadap gelombang demonstrasi yang akhir-akhir ini terus bergulir di berbagai wilayah.

Terkait pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang mengindikasikan adanya unsur makar dalam aksi-aksi tersebut, Mahfud menilai hal itu perlu dibuktikan secara hukum.

Pakar hukum tata negara tersebut menyebut bahwa tindakan makar memiliki definisi hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Kalau ada makar, tangkap saja. Makar itu jelas diatur dalam KUHP. Pertama, menggulingkan pemerintah yang sah. Kedua, menghalangi presiden dan wakil presiden menjalankan tugas. Apakah ada ke arah itu, saya tidak tahu. Pemerintah lebih tahu,” ucap Mahfud.

Mahfud MD Nilai Gelombang Demo Murni Aspirasi Rakyat

Namun demikian, menurutnya aksi massa tersebut muncul secara alami dari keresahan masyarakat, bukan hasil rekayasa maupun rencana makar.

Jika kemudian ada pihak-pihak yang menunggangi, hal tersebut tidak serta-merta menjadikan aksi massa sebagai bentuk makar atau tindakan terorganisir.

“Demo ini aslinya organik, ada alasan-alasan yang muncul dari bawah. Cuma kemudian ada yang menunggangi, tapi itu berbeda dengan mendalangi. Kalau mendalangi berarti merencanakan dan menggerakkan, sedangkan ini tidak,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak ingin berspekulasi soal siapa yang menunggangi aksi-aksi tersebut.

Fokusnya tetap pada akar masalah yang menjadi pemicu utama, yakni akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mendapat tanggapan serius.

“Karena pemicunya muncul ya, (reaksi) organiknya muncul juga. Nah, kemudian ada yang menunggangi macam-macam teori-teorinya itu. Saya tidak tahu siapa, dan saya tidak ingin tahu siapa penunggangnya,” jelas Mahfud.

Mahfud menyebut bahwa respons pemerintah terhadap berbagai kritik masyarakat kerap dianggap remeh bahkan dijadikan bahan candaan, yang justru memperburuk kondisi.

“Kadang malah diketawakan, disindir, atau disepelekan. Inilah yang akhirnya memicu gerakan organik,” ungkap Mahfud.