Lebih Nyaman Curhat ke AI? Pakar Ingatkan Risiko Privasi dan Emosional
HAIJOGJA.COM — Curhat ke chatbot AI kini seakan menjadi tren di tengah masyarakat kini.
Tak ayal, teknologi kecerdasan buatan<span;>Fenomena manusia membangun relasi emosional dengan AI. saat ini tidak hanya sebagai alat untuk memudahkan aktivitas ataupun pekerjaan manusia, tetapi juga memunculkan relasi emosional antara keduanya.
Menurut Pakar Ilmu Komunikasi UGM Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, SIP, MA, hal ini menjadi sebuah isu struktural yang berkaitan antara satu aspek dengan aspek yang lain.
Mengapa Manusia Lebih Nyaman Curhat ke AI?
Mashita menyebut bahwa fenomena ini tidak lepas dari kondisi sosial yang kian kompleks.
Salah satu yang digarisbawahinya adalah kapitalisme modern, khususnya bagi pemukim di lingkungan perkotaan yang serba cepat dan kompetitif.
Hal ini telah menciptakan kondisi sosial yang memperparah rasa kesepian dan keterasingan.
Di tengah situasi ini, AI hadir sebagai alternatif relasi yang menawarkan kesederhanaan, tanpa tuntutan, dan minim konflik.
“Sederhananya, teknologi AI saat ini sudah memahami realita dunia manusia dan menciptakan ekosistem yang dapat beradaptasi dengan setiap individu,” jelas Mashita dalam Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) “Jatuh Cinta dengan AI: Tren Komunikasi AI melalui Curhat dan Romantisasi secara Daring”.
Kecerdasan buatan dirancang untuk memberikan kenyamanan emosional yang konstan, tanpa biaya emosional atau finansial yang sering kali ada dalam hubungan antarmanusia.
Ini menjadi daya tarik utama bagi banyak orang yang mencari ruang aman untuk berekspresi dan berbagi perasaan.
Dampak AI terhadap Hubungan Antarmanusia
Pendiri Sekolah Cemerlang Naufal Firosa menilai, daya tarik AI dalam komunikasi emosional berasal dari kebutuhan dasar manusia akan ruang aman, keintiman tanpa konflik, dan kehadiran yang konsisten.
Namun, fenomena ini dapat membawa dampak negatif, yaitu terbentuknya ekspektasi komunikasi yang tidak realistis dalam relasi manusia sehari-hari.
AI dirancang untuk meniru komunikasi manusia dengan memberikan validasi dan interaksi emosi yang positif secara konsisten.
Hal ini menciptakan kenyamanan pengguna dan mendorong mereka untuk terus berinteraksi dengan AI.
“Ketika kita terbiasa mendapatkan validasi dari AI yang tidak pernah menolak atau menghakimi, kita mulai menaikan standar komunikasi kita. Kita pakai standar komunikasi yang sama ke manusia lain, padahal manusia itu kompleks dan tidak bisa disamakan dengan AI,” jelasnya.
Artinya, hubungan yang ideal dengan AI bisa membuat kita memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap manusia lain.
Hal ini berpotensi merusak hubungan interpersonal karena kita cenderung mengharapkan validasi dan kesempurnaan yang tidak realistis dari orang lain.
Risiko Privasi saat Curhat ke AI
Meskipun menawarkan kenyamanan, Mashita Phitaloka mengingatkan bahwa ada risiko privasi dan data pribadi yang harus diwaspadai.
Ia menekankan bahwa teknologi, termasuk AI, tidak sepenuhnya bebas nilai.
AI dibangun oleh perusahaan yang berorientasi pada keuntungan, dan data pribadi kita bisa menjadi komoditas.
“Kita hidup di masa yang serba cepat, penuh tekanan, dan minim koneksi yang bermakna. AI menawarkan kenyamanan emosional yang konstan, tanpa biaya emosional maupun finansial seperti dalam hubungan manusia. Tapi kita lupa bahwa teknologi dan AI itu tidak bebas nilai,” tegas Mashita.
Diskusi ini membuka ruang baru yang menarik: manusia kini tidak hanya hidup berdampingan dengan teknologi, tetapi juga hidup di dalamnya.
Hal ini membawa kemajuan sekaligus tantangan besar bagi dinamika komunikasi manusia.
Memahami batasan dan risiko ini sangat penting agar kita tetap menjadi pengguna yang bijak.
Menjadi Pengguna AI yang Bijak
Ketua Diskoma Defrimont Era menyoroti bagaimana kehadiran AI membawa perubahan signifikan dalam kehidupan manusia.
AI tidak lagi sekadar alat, melainkan bisa menjadi teman curhat, sahabat virtual, bahkan tempat menaruh keintiman.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pengguna untuk tetap bijak dalam membedakan antara realitas digital dan dunia nyata.
Meskipun AI menawarkan kenyamanan emosional, manusia tidak boleh melupakan pentingnya koneksi manusia yang otentik dan bermakna.
Hubungan manusia memiliki kompleksitas yang tidak bisa digantikan oleh algoritma AI.
Dengan memahami dinamika ini, pengguna dapat memanfaatkan teknologi AI secara positif, sambil tetap menjaga kualitas hubungan interpersonal dan mental kita.