HAIJOGJA.COM – Kontroversi perayaan Tahun Baru Islam muncul akibat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai keabsahan merayakannya dalam perspektif syariat.

Tahun Baru Islam yang diperingati setiap 1 Muharram disambut dengan berbagai tradisi lokal di berbagai daerah Indonesia.

Namun, perayaan ini menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan ulama karena tidak terdapat dalil eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan perayaannya.

Sebagian ulama, khususnya dari Arab Saudi, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, tidak menganjurkan perayaan maupun ucapan selamat tahun baru Hijriah.

Dalam pandangannya, hal tersebut bukan bagian dari syariat.

Ia menyarankan agar tidak menjadi orang pertama yang mengucapkannya, tetapi membalas ucapan tersebut dianggap tidak bermasalah.

Dikutip dari Detik, sebaliknya, Buya Yahya dari LPD Al-Bahjah Cirebon berpandangan bahwa perayaan tahun baru Islam boleh dilakukan dan bahkan bernilai syiar.

Dalam ceramahnya yang diunggah di kanal YouTube Al-Bahjah TV, ia menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bukan termasuk bid’ah karena tidak menambah hari raya dalam Islam.

Ia juga menekankan pentingnya memperkenalkan penanggalan Hijriah kepada masyarakat, khususnya generasi muda, sebagai bagian dari penguatan identitas dan syiar keislaman.

Buya Yahya juga mengungkapkan bahwa pemilihan 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriah memiliki tujuan dakwah sejak masa Khalifah Umar bin Khattab.

Perayaan ini, menurutnya, dapat menjadi sarana untuk membumikan penanggalan Islam yang menjadi dasar ibadah seperti puasa dan haji.