HAIJOGJA.COM — Konkurs Nasional Burung Perkutut Piala Raja Hamengku Buwono Cup 2025 siap diselenggarakan pada akhir pekan ini, 6–7 September 2025 di Alun-alun Kidul Yogyakarta.

Event ini menjadi ajang tahunan paling bergengsi dalam dunia pelestarian seni suara alam burung perkutut.

Sebanyak lebih dari 800 burung perkutut terbaik dari berbagai daerah di Indonesia akan ikut dalam event ini.

Sebagai lomba burung perkutut skala nasional, acara ini tidak hanya menjadi kompetisi, tetapi juga ruang pelestarian budaya dan filosofi Jawa yang terus hidup dalam masyarakat.

Burung Perkutut dalam Budaya Jawa

Burung perkutut dalam budaya Jawa bukan sekadar hewan peliharaan, tapi simbol ketenangan, kebijaksanaan, dan daya tarik spiritual.

Burung ini bahkan telah ditetapkan sebagai maskot resmi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1990 karena mencerminkan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal.

Sejalan dengan itu, burung perkutut juga dipercaya membawa energi positif bagi pemiliknya, mulai dari ketenangan batin hingga keberuntungan.

“Burung perkutut dipercaya mendatangkan rezeki, ketenangan, dan karisma. Itu sebabnya hingga kini tetap populer sebagai hewan peliharaan,” ujar Ignatius Susriyanta, Ketua Panitia dari P3SI DIY.

Menariknya, burung perkutut juga memiliki nilai sejarah lintas negara.

Pada abad ke-14, burung ini pernah dijadikan hadiah diplomatik oleh Raja Sriwijaya kepada Raja Ramalima dari Siam (kini Thailand).

Di Thailand, perkutut dikenal dengan nama Nokcha Jawa, menandakan asal-usulnya dari tanah Jawa.

Filosofi Konkur Nasional Burung Perkutut di Jogja

Perlombaan ini selalu menjadi bagian dari rangkaian perayaan ulang tahun Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY dan mendapat dukungan Dana Keistimewaan (Danais) dalam penyelenggaraannya.

Event ini mengusung filosofi “Hamemayu Hayuning Bawono”, yang berarti menjaga keharmonisan alam.

Oleh karena itu, setiap kompetisi akan ditutup dengan ritual pelepasan burung perkutut ke alam bebas, sebagai simbol harmoni antara manusia dan lingkungan.

“Filosofi yang dipegang adalah Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti menjaga harmoni alam. Karena itu setelah lomba biasanya ada prosesi pelepasan burung perkutut ke alam,” kata Paniradya Pati Paniradya Kaistimewan DIY Aris Eko Nugroho dalam diskusi Rembag Kaistimewaan (26/08/2025).

Menurut Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Kreatif Dispar DIY Iwan Pramana, event burung perkutut ini berperan sebagai liga budaya yang mendukung pelestarian fauna lokal sekaligus memperkuat daya tarik wisata budaya di Jogja.

“Ini adalah upaya menjaga fauna lokal sekaligus menghadirkan atraksi budaya khas DIY,” jelasnya.

Selain kualitas suara, aspek estetika sangkar burung perkutut menjadi salah satu elemen penilaian.

Ini membuka peluang bagi pelaku UMKM dan ekonomi kreatif di Yogyakarta untuk ikut terlibat melalui produksi sangkar, aksesori, dan kebutuhan pendukung lainnya.

“Keberadaan ajang ini bahkan bisa menjadi magnet baru bagi wisatawan mancanegara,” ujar pemerhati pariwisata, Ike Janita Dewi.

Terlebih dengan dibukanya penerbangan langsung dari Yogyakarta International Airport (YIA) ke Bangkok, ajang seperti Konkurs Nasional Burung Perkutut 2025 dapat menjadi potensi wisata budaya yang mendunia.

Lebih lanjut, akan ada empat babak penilaian pada perlombaan ini, dengan fokus utama pada kualitas kicauan burung perkutut, penampilan sangkar, dan keutuhan presentasi secara keseluruhan.

Konkurs Nasional Seni Suara Alam Burung Perkutut Piala Raja Hamengku Buwono Cup 2025 yang menghidupkan nilai sejarah, filosofi budaya, dan daya tarik wisata menjadi ruang perayaan identitas budaya Jawa di tengah masyarakat modern.