HAIJOGJA.COMSeorang guru honorer asal Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah berjuang selama 12 tahun untuk merebut kembali hak atas tanah milik istrinya yang diduga direbut melalui modus penipuan berkedok penyewaan rumah.

Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sleman menyampaikan bahwa penanganan kasus ini masih berjalan. Salah satu pelaku telah divonis, sementara satu lainnya masih buron.

“Untuk penanganan kasus penipuannya sudah inkrah satu pelaku dan satu pelaku lagi masih DPO,” ujar Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Riski Adrian, Senin (12/5/2025), dikutip dari Kompas.

Ia menjelaskan, polisi terus memburu tersangka berinisial SJ yang hingga kini belum tertangkap.

Kisah bermula pada 2011, ketika dua orang, SJ dan SH, datang untuk menyewa rumah milik Evi Fatimah — istri Hedi Ludiman (49), seorang guru honorer.

Rumah tersebut berdiri di atas lahan seluas 1.475 meter persegi di Tridadi, Sleman.

Karena rumah tersebut memang biasa disewakan, permintaan sewa selama lima tahun pun disetujui. Namun, tidak lama kemudian, SJ dan SH meminta sertifikat tanah sebagai jaminan, dan diberikan oleh Evi tanpa curiga karena salah satu dari mereka merupakan perempuan lansia.

Setelahnya, Evi diajak ke kantor notaris di Kalasan. Ia hanya bertemu staf dan diminta menandatangani sejumlah dokumen tanpa diberi kesempatan membaca terlebih dahulu.

“Katanya untuk kontrak rumah, ternyata kami sama sekali tidak tahu isinya apa,” ujar Hedi.

Setahun kemudian, keluarga dikejutkan oleh kunjungan petugas dari sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang memberitahukan bahwa sertifikat tanah yang masih atas nama Evi telah diagunkan untuk pinjaman sebesar Rp300 juta — dan kredit tersebut macet.

Bahkan, sertifikat itu telah diproses untuk balik nama atas nama SJ.

“Dari situ saya mulai cari tahu ke BPN, dan ternyata benar, sertifikat sudah dibalik nama,” kata Hedi.

Keluarga melaporkan kejadian ini ke kepolisian. Pada tahun 2014, SH berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara.

Namun, SJ yang diduga menjadi otak penipuan, masih dalam pelarian hingga kini.

Lebih mengejutkan, Hedi menemukan bahwa KTP milik istrinya dipakai dalam proses legalisasi dokumen tanpa pernah diserahkan ke notaris.

Sang notaris yang terlibat pun dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah dan terbukti melanggar kode etik.

Tidak hanya menempuh jalur pidana, Hedi juga menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Sleman terhadap bank dan para pelaku.

Namun gugatan ditolak karena dianggap cacat secara administratif. Ia juga mengadu ke Ditreskrimsus Polda DIY, namun kasus dihentikan melalui SP3.

Masalah semakin pelik ketika diketahui sertifikat yang sudah diblokir oleh BPN justru kembali berpindah tangan dari SJ ke seseorang berinisial RZA.

Saya heran, sudah diblokir tapi bisa dibalik nama lagi. RZA sempat datang, saya sudah jelaskan kalau ini tanah bermasalah,” tutur Hedi.

Perjuangan panjang selama 12 tahun itu sangat menguras tenaga dan emosi Hedi.

Dengan penghasilan sebagai guru honorer swasta sebesar Rp150 ribu per bulan, ia harus bekerja sampingan sebagai montir demi menafkahi istri dan tiga anak.

“Sampai tak bisa belikan susu anak, saya menelantarkan keluarga karena fokus memperjuangkan ini. Rasanya sangat berat,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Kini, harapan Hedi hanya satu: agar negara hadir memberikan keadilan dan mengembalikan hak tanah milik istrinya.

“Saya mohon kepada pemerintah pusat dan Komisi III DPR RI, bantu kami. Saya hanya guru honorer yang ingin keadilan. Kembalikan hak istri saya,” pintanya.