HAIJOGJA.COM – Batik tetap hidup di tengah pengaruh budaya digital yang kuat.

Semakin banyak anak muda sekarang yang mengenakan batik di acara formal dan mencoba memahami sejarah, filosofi, dan makna dari setiap corak dan goresan.

Penggiat budaya Marsha Widodo mengatakan bahwa generasinya memainkan peran penting dalam mempertahankan batik sebagai identitas bangsa.

Dia menyatakan bahwa jutaan orang muda generasi Z, yang berusia antara 15 dan 27 tahun adalah kunci keberlanjutan batik di masa depan.

“Generasi kami adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Kalau kita tidak paham maknanya, batik bisa tinggal nama,” katanya dalam Seminar Batik, Penghubung Cerita dan Nilai Antar Generasi pada Jumat (31/10/2025), dikutip dari Harian Jogja.

Generasi Z Bangkitkan Semangat Batik

Marsha percaya bahwa mempertahankan batik memiliki dua tujuan yaitu meningkatkan kesadaran budaya di kalangan remaja dan mempertahankan bentuknya.

“Pelestarian batik tidak cukup hanya dengan mengenakannya. Kita perlu tahu siapa yang membuatnya, apa kisah di balik motifnya, dan bagaimana prosesnya berlangsung,” katanya.

Marsha yang berasal dari keluarga Tionghoa tumbuh dengan batik bermotif hewan dan bunga.

Dari keluarganya, ia belajar bahwa setiap motif memiliki makna tersendiri.

“Setiap warna, garis, dan bentuk punya cerita asal-usul. Dari situ saya sadar, batik bukan sekadar kain indah, tetapi cermin perjalanan sejarah dan pertemuan budaya,” ucapnya.

Dia melihat batik sebagai warisan budaya daripada barang dagangan.

Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap lembar batik adalah hasil dari proses yang panjang dan penuh makna.

“Dari proses mencanting hingga pewarnaan, batik mengajarkan kesabaran, fokus, dan kerendahan hati yang merupakan nilai-nilai yang relevan untuk generasi muda,” ujarnya.

Sementara itu, Karina Rima, pengurus PBBI Sekar Jagad, mengatakan bahwa limbah industri batik merupakan tantangan besar di balik semangat pelestarian batik.

Ia memberikan contoh situasi di Pekalongan, yang menunjukkan paradoks antara ekonomi dan lingkungan.

“Ada ungkapan kalau sungainya hitam, berarti batiknya laku. Artinya, pencemaran dianggap tanda kemakmuran. Ini harus diubah,” katanya.

Sebagai langkah nyata, pihaknya membangun instalasi pengolahan air limbah mini.

“Langkah kecil ini menunjukkan bahwa batik bisa berkelanjutan tanpa merusak lingkungan,” katanya.

Menurut Afif Syakur, Ketua II PBBI Sekar Jagad, batik memiliki dimensi spiritual yang erat kaitannya dengan jati diri masyarakat Jawa.

Dia percaya bahwa setiap motif batik menggambarkan perjalanan hidup manusia, dari lahir hingga meninggal.

Afif juga mengeluh tentang banyaknya batik cetak yang mengaburkan kualitas asli batik tulis.

“Langkah kecil ini membuktikan bahwa batik bisa berkelanjutan tanpa harus merusak lingkungan,” katanya.

Gregorius Budi Subanar SJ, seorang budayawan, mengatakan bahwa batik harus dipahami sebagai simbol yang hidup dan terus berkembang.

“Batik bukan benda mati, tetapi hidup, berkembang, dan bisa diolah sesuai konteks zaman,” ujarnya.