Buruh Jogja Kritik Pemerintahan Prabowo–Gibran: Upah Rendah dan Kerja Tak Pasti
HAIJOGJA.COM – Setahun masa pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dinilai belum membawa perubahan berarti bagi kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY bahkan memberikan rapor merah untuk kinerja pemerintah di bidang ketenagakerjaan.
Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menilai berbagai janji pemerintah soal kerja layak, perlindungan sosial, hingga keadilan ekonomi masih sebatas wacana.
“Persoalan pertama dan paling mendasar adalah upah layak,” ujarnya, Senin (20/10/2025), dikutip dari Harian Jogja.
Buruh Jogja Kritik Pemerintahan Prabowo–Gibran
Hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan MPBI pada Oktober 2025 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan pekerja di DIY mencapai Rp3,6 juta hingga Rp4,45 juta per bulan.
Namun, upah minimum di tingkat kabupaten/kota masih jauh di bawah angka tersebut.
Kondisi ini menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan antara penghasilan dan biaya hidup.
“Kebijakan pengupahan dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan belum mampu menjamin kesejahteraan buruh,” katanya.
Selain masalah upah, MPBI juga menyoroti persoalan sistem kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing yang semakin meluas di berbagai sektor, mulai dari industri, perdagangan, hingga layanan publik.
Sistem kerja tidak tetap ini membuat banyak pekerja hidup dalam ketidakpastian, tanpa jaminan kerja maupun penghasilan yang stabil.
“Pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk menghapus atau memperketat aturan outsourcing dan kontrak jangka pendek, padahal hal ini menjadi sumber utama kerentanan buruh di Indonesia,” ungkapnya.
Irsad juga menilai kebijakan ketenagakerjaan saat ini belum inklusif dan masih minim perspektif gender.
Perlindungan bagi pekerja perempuan, penyandang disabilitas, dan pekerja sektor informal dinilai masih sangat lemah.
Salah satu contohnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hingga kini belum juga disahkan, meski sudah bertahun-tahun diperjuangkan.
“Padahal, pekerja rumah tangga merupakan kelompok kerja domestik yang paling rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak,” ujarnya.
Hal serupa juga dialami oleh pekerja di sektor kreatif, seni, dan digital, termasuk mereka yang bekerja di platform daring.
Hingga kini, kelompok ini belum sepenuhnya diakui dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan.
Mereka bekerja tanpa kontrak formal, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian upah.
“Pemerintah belum menunjukkan kebijakan konkret untuk melindungi pekerja berbasis platform maupun pekerja lepas yang jumlahnya terus meningkat di DIY dan kota-kota besar lainnya,” tuturnya.
Selama satu tahun pemerintahan ini, gelombang PHK juga masih terjadi di berbagai sektor.
Pengawasan ketenagakerjaan dinilai lemah, sementara penyelesaian sengketa industrial berjalan lambat dan sering kali tidak berpihak kepada pekerja.
Menurut Irsad, tahun pertama pemerintahan seharusnya menjadi momen untuk menunjukkan keberpihakan terhadap keadilan bagi buruh.
Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan.
Buruh masih hidup dengan upah minim, status kerja yang tidak pasti, dan perlindungan hukum yang lemah.
“MPBI DIY menegaskan bahwa perbaikan hanya akan terjadi jika pemerintah menempatkan kepentingan pekerja sebagai pusat dari kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional,” tegasnya.