Asal-Usul Batik Yogyakarta, Motif Eksklusif hingga Merakyat
HAIJOGJA.COM – Asal-usul batik Yogyakarta dapat ditelusuri hingga tahun 1755, saat berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
Kasultanan ini muncul sebagai hasil Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Karena sejarah inilah, motif batik Yogyakarta memiliki banyak kesamaan dengan batik Surakarta.
Asal-Usul Batik Yogyakarta
Berikut perjalanan batik Yogyakarta secara lengkap.
1. Batik Mulai Diperdagangkan pada Era Keraton
Jurnal Dinamika Industri Batik di Kota Yogyakarta 1901–1942 oleh Kurniyati dkk. menyatakan bahwa batik telah diperdagangkan hingga ke Pantai Utara Jawa sejak berdirinya Keraton Yogyakarta.
Ini menunjukkan bahwa batik sudah memenuhi permintaan pasar yang lebih luas daripada hanya milik keluarga keraton. Bahkan, Gusti Kanjeng Ratu Ageng (1735–1803) terlibat dalam perdagangan beras dan batik.
Meskipun demikian, batik masih terhubung dengan citra bangsawan.
2. Batik Menyebar Luas di Masyarakat
Seiring waktu, masyarakat umum mulai mengenal seni membatik. Batik semakin populer karena dua alasan utama:
Para abdi dalem, atau pembantu sultan, membawa kegiatan membatik ke rumah mereka agar masyarakat dapat menyaksikannya.
Banyak orang menunjukkan ketertarikan pada batik, meningkatkan permintaan kain ini.
3. Beberapa Motif Batik Dilarang untuk Rakyat
Meskipun batik semakin populer di kalangan masyarakat, motif tertentu tetap menjadi hak eksklusif bangsawan.
Mengutip jurnal Motif Batik Keraton Yogyakarta sebagai Sumber Inovasi Perhiasan Kotagede karya Pandansari Kusumo dkk., terdapat dua jenis motif batik keraton:
- Geometrik: Motif yang dibentuk berdasarkan prinsip pengukuran, seperti persegi, segitiga, garis, dan lingkaran.
- Non-geometrik: Motif yang lebih bebas dan tidak terikat aturan pengukuran, misalnya bentuk flora dan fauna.
Selain itu, rakyat dilarang menggunakan motif batik parang, termasuk di antaranya:
- Parang Rusak Barong
- Parang Rusak Gendher
- Parang Rusak Klitik
- Semen Gede Swat Gruda
- Semen Gede Swat Lat
- Udan Riris
- Rujak Sente
- Parang-parangan
Seiring berjalannya waktu, aturan ini mulai dilupakan. Batik pun semakin merakyat, dan siapa pun kini bebas membuat serta memakai motif sesuai selera.
4. Industri Batik Yogyakarta Memasuki Era Baru
Industri batik Yogyakarta mulai mengalami perubahan besar pada pertengahan abad ke-19.
Perkembangan ini dipicu oleh dua komponen utama:
- Penemuan metode batik cap: Pedagang batik dari Kauman, Semarang memperkenalkan metode ini. Hasilnya, batik dapat diproduksi dengan cepat untuk memenuhi permintaan masyarakat
- Perkembangan transportasi kereta api di wilayah Vorstenlanden (lanjutan Kerajaan Mataram), yang membuat distribusi batik ke luar Yogyakarta lebih cepat dan efisien.
Industri batik cap di Yogyakarta semakin berkembang pesat setelah Perang Dunia I pada 1920-an.
Banyak juragan batik di kota bekerja sama dengan pengrajin desa untuk membuat batik cap dengan sistem borongan.
Sejak saat itu, batik Yogyakarta terus tumbuh dan akhirnya dikenal luas hingga sekarang.