Anak Asli Jogja Minim Lanjut Kuliah, DPRD Beri Saran!
HAIJOGJA.COM – Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi pendidikan di Yogyakarta yang semakin menunjukkan kesenjangan.
Salah satu perhatian utamanya adalah rendahnya tingkat partisipasi anak-anak asli DIY dalam pendidikan tinggi, meskipun kota ini dikenal sebagai pusat pendidikan nasional.
Dwi menyebutkan bahwa kesenjangan tersebut berkaitan erat dengan kemiskinan yang masih menjadi permasalahan banyak keluarga di DIY.
Akibatnya, muncul masalah sosial turunan seperti tingginya angka pernikahan dini, yang hingga kini masih tergolong tinggi menurut data yang ada.
“Ketika ada kesenjangan pendidikan karena kemiskinan, maka yang terjadi ada pernikahan dini. Pernikahan dini di DIY, berdasarkan data, masih tergolong tinggi,” ujarnya, Rabu (16/7/2025), dilansir dari Harian Jogja.
Hanya 15% yang Melanjutnya ke Perguruan Tinggi
Berdasarkan data BPS DIY per 1 Juni 2024, sebagian besar warga DIY hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat sekolah dasar (22,27%) dan sekolah menengah (35,96%).
Sementara itu, hanya kurang dari 15% anak-anak lokal DIY yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, menjadikan situasi ini sebuah ironi mengingat Jogja dikenal luas sebagai kota pelajar.
Dwi menilai bahwa faktor rendahnya minat kuliah tak semata karena biaya tinggi atau UKT yang mahal.
“Menurut saya persoalan pendidikan tidak main-main untuk di DIY kalau ingin tetap menjadi parameter nasional sebagai kota pelajar, dan kita tuan rumah sendiri malah tidak belajar,” kata Dwi Wahyu.
Ia mendesak Dinas Pendidikan melakukan deteksi dini terhadap penyebab anak-anak enggan melanjutkan pendidikan tinggi.
Lemahnya Dukungan Pemerintah
Selain itu, ia menyoroti kondisi guru honorer yang sebagian besar masih bergantung pada dana komite sekolah, yang mencerminkan lemahnya dukungan pemerintah daerah terhadap kualitas tenaga pendidik.
Untuk itu, DPRD DIY mendorong pemanfaatan Dana Keistimewaan DIY secara maksimal untuk mendukung kesejahteraan guru dan menekan beban pendidikan masyarakat.
Dwi berharap upaya ini bisa membangkitkan kembali semangat belajar anak-anak DIY, agar Yogyakarta tetap layak menyandang predikat sebagai kota pelajar yang tidak eksklusif hanya bagi pendatang, tapi juga inklusif bagi warga lokalnya.