HAIJOGJA.COM – Rabu Pungkasan merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman Sultan Agung pada abad ke-17.

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Wonokromo, Pleret, Bantul, sebagai upaya untuk menolak bala atau musibah yang diyakini sering terjadi pada bulan Safar.

Selain itu, tradisi ini juga merupakan ungkapan syukur atas hasil bumi yang diperoleh.

Salah satu ciri khas dari Rabu Pungkasan adalah kirab lemper raksasa yang berukuran 2,5 meter panjang dan 50 cm diameter.

Lemper raksasa ini dibuat dari puluhan kilogram beras ketan, daging ayam, dan daun pisang. Lemper ini kemudian dikirab dari Masjid Al Huda Karang Anom menuju pendopo balai Kalurahan Wonokromo.

Lemper memiliki makna filosofis yang dalam bagi masyarakat Wonokromo. Lemper adalah singkatan dari yen dialem atimu ojo memper, yang artinya jika hatimu dipuji orang lain jangan sombong.

Lemper juga melambangkan perjuangan hidup untuk melepaskan belenggu sebelum menikmati kehidupan yang nikmat. Lemper juga diharapkan dapat membawa keberkahan bagi masyarakat.

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih mengapresiasi tradisi Rabu Pungkasan yang telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda nasional.

Menurutnya, tradisi ini tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga mendorong perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat dari adanya pasar malam yang digelar selama tiga minggu sebelum hari H Rabu Pungkasan.

Pasar malam ini menjadi ajang bagi para pelaku UMKM dari berbagai padukuhan, sekolah, dan paguyuban untuk memasarkan produknya.

Lurah Kalurahan Wonokromo, Machrus Hanafi, mengatakan bahwa pasar malam ini mampu menghasilkan omset perdagangan yang sangat besar.

Ia berharap bahwa Rabu Pungkasan dapat terus berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Di Akhir acara, sepasang gunungan yang terdiri atas lemper-lemper kecil dan berbagai hasil bumi masyarakat Wonokromo dibagikan kepada masyarakat.