Bajaj Online Maxride Belum Berizin, Pemda DIY Dorong Penataan Transportasi Berbasis Aplikasi
HAIJOGJA.COM – Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menegaskan bahwa Maxride, layanan transportasi berbasis aplikasi, tidak termasuk angkutan umum resmi karena beroperasi menggunakan pelat hitam.
Untuk itu, pemerintah kabupaten/kota diminta segera mengambil langkah tegas dalam penataan.
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti menjelaskan, sepeda motor pribadi yang dipakai untuk mengangkut penumpang otomatis dikategorikan sebagai angkutan umum.
Aturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga sudah menegaskan klasifikasi angkutan orang.
Karena itu, keberadaan Maxride tidak bisa dianggap sah sebagai angkutan umum hanya karena kendaraan yang dipakai berpelat hitam resmi.
“Maxride ini kan sepeda motor pribadi, platnya jelas sepeda motor. Tapi begitu dipakai mengangkut penumpang, itu masuk kategori angkutan umum. Nah, secara izin, tidak ada,” ujar Ni Made, Rabu (1/10) di Kantor Sekda DIY, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Kewenangan Perizinan di Kabupaten/Kota
Ni Made menegaskan bahwa penerbitan izin berada di kewenangan pemerintah kabupaten/kota, sedangkan operasional Maxride kerap melintasi batas wilayah.
“Jangan hanya bicara di kota, tapi semua kabupaten harus punya sikap. Karena layanannya lintas batas, dari Sleman ke Kota, dari Bantul ke Kota, dan seterusnya. Kalau tidak diatur, masyarakat bingung,” ujarnya.
Ia juga membandingkan situasi Maxride dengan bentor (becak motor) yang sejak awal statusnya ilegal.
Bedanya, motor Maxride sah secara registrasi, tetapi dipakai untuk mengangkut penumpang.
“Kalau bentor jelas ilegal. Nah, Maxride ini beda. Motor pribadinya legal, tapi fungsinya dipakai angkutan orang. Itu yang harus dibatasi kabupaten/kota, boleh beroperasi di mana, kawasan mana, atau bahkan tidak boleh sama sekali,” kata Ni Made.
Pembahasan dengan Kepolisian
Pemda DIY bersama Polda DIY sempat membahas keberadaan aplikator Maxride, namun hingga kini aplikator dinilai belum kooperatif.
“Kalau terus tidak kooperatif, bisa saja ujungnya ada langkah hukum. Kita juga sudah koordinasi dengan Ditlantas dan kepolisian,” jelas Ni Made.
Meski begitu, ia menyebut masih ada peluang Maxride beroperasi di wilayah yang minim transportasi umum seperti Gunungkidul atau Kulon Progo, asalkan diatur dengan izin resmi sesuai kebutuhan.
“Sebenarnya bukan tidak boleh, tapi layanannya itu mau diatur seperti apa, mungkin ada batasan layanan. Nah tinggal pengaturan, kabupaten kota seperti apa untuk itu. Misal Gunungkidul Kulon Progo monggo saja kalau diatur kawasannya di mana, terus kalau Kota mau bagaimana, misal tidak ya tidak,” terangnya.
Kota Yogyakarta Dinilai Tak Butuh Moda Baru
Untuk wilayah Kota Yogyakarta, Made menilai penambahan moda transportasi baru sulit dilakukan karena kondisi jalan yang sudah padat dan sempit.
Pemda DIY berencana mengundang kembali kabupaten/kota untuk membahas aturan dan sosialisasi mengenai Maxride.
“Ya harus rapat lagi, kita kan juga tidak bisa serta merta melakukan penegakan, harus ada sosialisasi. Mau kita semua yang ada di DIY, terutama di perkotaan, ada pengaturan yang baik,” tutupnya.
Dishub DIY Dorong Penertiban
Senada dengan itu, Kepala Dinas Perhubungan DIY Chrestina Erni Widyastuti menegaskan bahwa kewenangan izin ada di kabupaten/kota.
Ia mengingatkan bahwa sebagian daerah sudah mengeluarkan surat edaran untuk tidak memberikan izin kepada Maxride, meski di lapangan masih ditemukan operasional.
“Kalau belum ada perizinan, semestinya harus dilakukan penertiban. Tapi faktanya masih ada yang mengizinkan di wilayah masing-masing. Idealnya, tahapan-tahapan aturan itu berjalan. Ada regulasi, sosialisasi, baru pendekatan. Tidak hanya untuk Maxride, tapi juga untuk masyarakat, agar menggunakan kendaraan berizin,” ujarnya.
Erni menambahkan Dishub DIY terus berkoordinasi dengan kabupaten/kota untuk menanyakan perkembangan penataan.
Menurutnya, provinsi hanya bisa mengingatkan dan mendorong, sementara tindakan langsung menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.
“Kita ingin lalu lintas di Yogyakarta yang sudah padat tidak makin terbebani. Kalau dibiarkan, ini juga bisa menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dengan ojol maupun angkutan resmi lainnya. Maka, yang utama kita tata dulu angkutan yang sudah ada, sambil mengendalikan kemacetan,” pungkasnya.