Jadah Tempe Mbah Carik Khas Kaliurang, Ini Fakta Kuliner Legendaris “Burger Jawa”
HAIJOGJA.COM — Jadah tempe merupakan salah satu kuliner tradisional khas Kaliurang yang sudah dikenal luas. Salah satu yang paling ikonik adalah Jadah Tempe Mbah Carik.
Lebih dari sekadar cemilan, sajian ini menyimpan nilai sejarah dan rasa yang melekat di ingatan banyak orang.
Dibuat dari ketan yang dicampur kelapa dan dipadukan dengan tempe bacem yang memiliki cita rasa gurih dan manis, jadah tempe menawarkan perpaduan tekstur yang lembut, kenyal, dan aroma khas yang menggoda.
Kuliner ini telah hadir sejak era 1950-an, diperkenalkan oleh Ngadikem Sastrodinomo, seorang carik atau juru tulis desa yang membuka warung kecil di kawasan Telaga Putri, Kaliurang.
Kreativitas dalam memadukan jadah dan tempe bacem menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, termasuk para utusan dari Keraton Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono IX kemudian menyarankan nama “Mbah Carik” untuk membedakan sajian ini dari penjual lainnya.
Sejak saat itu, nama Mbah Carik melekat sebagai identitas otentik dari jadah tempe Kaliurang dan menjadi favorit keluarga Keraton.
Warisan Budaya Tak Benda dari Yogyakarta
Tak hanya dikenal karena cita rasanya, jadah tempe juga menjadi simbol budaya masyarakat Yogyakarta. Pada 26 Mei 2025, kuliner ini resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengakuan ini turut diberikan kepada 31 karya budaya lainnya sebagai representasi nilai-nilai sosial dan identitas lokal.
Resep Tradisional yang Bergantung pada Kualitas Bahan
Cita rasa jadah tempe ditentukan oleh kesederhanaan bahan-bahan seperti ketan, kelapa, garam, tempe, tahu, dan gembus.
Meskipun terlihat sederhana, kualitas bahan tidak bisa dianggap remeh.
“Ada ketan itu kadang macam-macam. Diperlakukan sama, tapi hasil jadah bisa beda. Ada yang empuk, ada yang kaku. Ada yang jadi agak kuning padahal dicuci bersih. Mungkin karena ketan impor, atau kadang lokal. Kalau di sini biasanya dua-duanya dipakai, kadang dicampur,” ujar Beti, salah satu karyawan di Warung Mbah Carik.
Untuk menjaga standar rasa, warung ini selalu menggunakan pemasok tetap, terutama untuk tempe dan tahu. Hal ini dilakukan demi menjaga konsistensi kualitas.
“Tempe dan tahu itu punya pemasok sendiri. Udah punya langganan, jadi nggak cari-cari yang lain. Itu buat quality control juga,” tambah Ibu Beti.
Hal yang sama berlaku pada kelapa. Meski harga kelapa kerap fluktuatif, harga jadah tempe diupayakan tetap terjangkau agar tidak membebani pelanggan.
Proses Tradisional yang Menjaga Cita Rasa
Pembuatan jadah tempe melalui proses yang panjang dan masih dipertahankan secara tradisional.
Proses dimulai dari mengupas kelapa, mencuci, lalu memarutnya.
Sementara itu, ketan direndam terlebih dahulu untuk membuatnya empuk saat dikukus selama sekitar satu setengah jam, kemudian ditumbuk hingga halus.
“Setelah itu dicampur dengan garam aja, dikukus kurang lebih satu setengah jam, ya setelah itu baru ditumbuk,” jelas Beti.
Untuk membuat tempe bacem, bahan direbus bersama gula dan garam selama dua hingga tiga jam.
Proses serupa juga diterapkan pada tahu dan gembus.
“Kalau untuk bacemnya, tempe itu cuman direbus dengan gula sama garam aja. Tempe, tahu, gembus sama prosesnya. Bacemnya kurang lebih ya 2–3 jam,” tuturnya.
Konsistensi rasa selama puluhan tahun ini berasal dari proses memasak yang terjaga dan penggunaan metode tradisional.
Perpaduan antara tekstur lembut jadah dan legitnya tempe bacem menghasilkan cita rasa unik yang sering dijuluki sebagai “Burger Jawa”.
Tetap Pakai Kayu Bakar demi Aroma Otentik
Di dapur Mbah Carik, kayu bakar masih digunakan berdampingan dengan kompor gas. Meskipun penggunaan gas lebih praktis, kayu tetap menjadi andalan karena memberi aroma khas pada makanan.
“Kalau sini cenderungnya pakai kayu. Jadi ada kayak sangit-sangitnya gitu mungkin ya. Tapi kalau produksinya nggak banyak, kita pakai gas. Kalau bikinnya 5 kilo ke atas, pasti pakai kayu,” jelas Beti.
Begitu juga untuk proses bacem, yang lebih sering direbus menggunakan kayu bakar.
Selain memberi aroma otentik, cara ini juga lebih hemat ketika produksi dalam jumlah besar.
Harapan agar Tetap Jadi Kuliner Identitas Jogja
Kini, setelah resmi menyandang status sebagai Warisan Budaya Tak Benda, harapan besar disematkan pada kuliner ini agar tetap dikenal luas dan dirindukan oleh para perantau.
“Harapannya untuk jadah tempe itu tetap dikenal masyarakat luas. Bagi yang di luar kota tetap kangen, kalau pulang ke Jogja harapannya tetap mencari. Biar tetap menjadi makanan yang selalu dirindukan,” tutup Ibu Beti.