HAIJOGJA.COM – Dalam rangka merayakan Peringatan 11 tahun Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kemantren Keraton mengundang masyarakat untuk kembali mengenal permainan tradisional melalui acara Living Museum pada Kamis (31/8/2023), yang diadakan di Ndalem Pakoeningratan, Sampilan, Kraton Yogyakarta.

Acara ini dibuka oleh Penjabat Wali Kota Yogyakarta, Singgih Raharjo, yang turut berpartisipasi dalam permainan tradisional seperti gasing, dan diiringi dengan permainan egrang yang semarak.

Selain menghadirkan permainan tradisional, acara Living Museum dengan tema “Njero Benteng” ini juga bertujuan untuk memperkenalkan sejarah dan budaya di lingkungan Keraton, termasuk Benteng Baluwerti, Toponing Kampung, Ageman, serta Arsitektur Cagar Budaya.

Dengan mengenalkan hal ini, diharapkan masyarakat akan semakin bersemangat dalam melestarikan dan menghargai warisan budaya Jawa.

Tak hanya menyuguhkan permainan tradisional, Living Museum bertema “Njeron Beteng” ini juga memberikan kesempatan kepada hadirin untuk menikmati berbagai jenis kuliner tradisional dan jamu khas, sambil menikmati pertunjukan kesenian di Ndalem Pakoeningratan.

Singgih Raharjo, Penjabat Wali Kota Yogyakarta, menyampaikan apresiasi yang sangat besar atas suksesnya Peringatan Keistimewaan Yogyakarta yang telah mencapai usia 11 tahun.

Salah satu permainan tradisional egrang yang menjadi penyemarak Peringatan Undang-undang Keistimewaan DIY Ke-11.

Ia berharap bahwa acara ini akan semakin memperluas wawasan masyarakat tentang perjalanan panjang sejarah Yogyakarta, yang menghasilkan kekayaan budaya yang bervariasi di setiap sudut wilayahnya.

Baginya, keberagaman budaya ini telah menjadi ciri khas setiap kemantren yang melengkapi keistimewaan Yogyakarta itu sendiri.

Ia mengharapkan bahwa melalui Living Museum di 14 kemantren, masyarakat Kota Yogyakarta dapat semakin diberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Ke-14 kemantren memiliki daya tarik wisata yang luar biasa, ini adalah sebuah acara pariwisata berbasis budaya. Semoga budaya dapat dihargai dengan bijak, diperluas, serta memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat, terutama di Kota Yogyakarta,” tegas Singgih.

Di sisi lain, Sumargandi, Mantri Pamong Praja Kemantren Keraton Yogyakarta, menjelaskan bahwa rangkaian acara yang diadakan di Ndalem Pakoeningratan ini merupakan perhelatan perdana.

Selain mempromosikan potensi budaya seperti permainan tradisional dan sejarah Njeron Benteng, acara ini juga dirancang sebagai wadah pelestarian, terutama di wilayah Kemantren Keraton Yogyakarta.

“Kami menyadari bahwa masih banyak pengetahuan yang harus kami pahami. Semoga acara ini mampu meningkatkan pengetahuan dan semangat pelestarian budaya di Kemantren Keraton,” ungkap Sumargandi dalam pidatonya.

Rangkaian acara Living Museum Kemantren Keraton dengan tema “Njeron Beteng” melibatkan partisipasi masyarakat sekitar dengan memperkenalkan sejarah Benteng Baluwerti, yang merupakan tembok pengeliling Kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tembok ini didirikan atas inisiatif Sultan Hamengku Buwono II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-1787.

Selain itu, acara ini juga memberikan kesempatan untuk memahami makna dari ungah-ungguh atau tata krama dalam bahasa Jawa. Hal ini memiliki arti yang dalam bagi warga Kota Yogyakarta, di mana etika berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa Ngoko dan Krama masih menjadi bagian penting dalam budaya.

Namun, tidak hanya etika berbahasa Jawa yang perlu dijaga, tata krama dalam berbusana juga merupakan aspek penting melalui pakaian tradisional seperti surjan dan blangkon.

Pemakaian pakaian ini memiliki filosofi dan makna simbolis yang mengajarkan tentang menjaga penampilan dan sikap yang anggun di depan orang lain.

Tempat penyelenggaraan acara ini, Ndalem Pakoeningratan, telah dijaga dan dilestarikan sejak dibangun pada awal abad ke-18.

Diyakini bahwa tempat ini pernah menjadi tempat kediaman Pangeran Diponegoro saat menjabat sebagai wali bagi Sri Sultan Hamengku Buwono V. Tempat ini awalnya bernama Ndalem Purbayan dan kini dikenal sebagai Ndalem Pakuningratan.

Lebih lanjut, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menegaskan bahwa dalam merencanakan acara ini, pihaknya bekerja sama dengan mahasiswa dari Ilmu Sejarah UGM dan Tata Kelola Seni Yogyakarta.

Keterlibatan dua institusi pendidikan besar ini bertujuan untuk menggali dan mempersembahkan potensi wilayah dalam konsep Living Museum.

“Keterlibatan dua universitas besar, UGM dan ISI Yogyakarta, dalam acara ini adalah bagian dari percepatan pembangunan Kota Yogyakarta yang mengusung konsep Temoto, Temonjo, Kroso dengan memaksimalkan sinergi 5 K, yaitu korporasi, komunitas, kampus, kampung, dan kota,” ungkapnya.

Dia juga menambahkan bahwa persiapan untuk peringatan Keistimewaan Yogyakarta sudah dimulai sejak Mei 2023 dan dilanjutkan dengan workshop pada Juli 2023 untuk memberikan pelatihan kepada tim kemantren dalam menyajikan pameran ini.

Dia berharap bahwa kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Kota Yogyakarta bahwa untuk menghargai nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta, kita harus memulainya dengan memahami adat tradisi dan budayanya.

“Semoga potensi budaya yang telah diungkapkan dan diwujudkan dengan baik dapat dijaga dan menjadi monumen yang merefleksikan identitas dari setiap kemantren,” tambahnya.