HAIJOGJA.COM — Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda Jogja) menangkap komplotan 5 orang yang mengakali sistem promosi judi online (judol) demi meraup keuntungan.

Kelima pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka masing-masing berinisial RDS, NF, EN, DA, dan PA.

Mereka kini resmi menyandang status tersangka setelah diamankan oleh tim gabungan Ditintelkam dan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda DIY dari sebuah rumah kontrakan di kawasan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.

Pada saat penggerebekan, mereka tertangkap tangan sedang melakukan aktivitas perjudian online dengan modus yang tergolong baru, yaitu dengan membuat puluhan akun baru setiap harinya untuk memperoleh keuntungan dari program promosi situs judi.

Kita amankan 5 orang, mereka tertangkap tangan sedang berjudi,” ungkap Kasubdit V Cyber Ditreskrimsus Polda DIY AKBP Slamet Riyanto, dikutip 6 Agustus 2025.

RDS: Otak di Balik Operasi Judi Online

Skema ini dijalankan secara sistematis dan profesional, dengan peran masing-masing tersangka yang telah ditentukan.

Dalam jaringan ini, RDS diketahui sebagai dalang utama yang merancang sistem operasi dan menjalankan logistik perjudian online.

Ia bertugas mencari situs-situs judi yang dalam promosinya menawarkan cashback serta menjadi pemodal dan penyedia sarana.

“RDS ini bosnya, dia yang menyiapkan link atau situsnya, mencari, kemudian menyiapkan PC, dan menyuruh empat karyawan untuk memasang judi online,” jelasnya.

Sementara empat tersangka lainnya berperan sebagai ‘pemain’, yang setiap hari wajib memainkan minimal 10 akun berbeda untuk memaksimalkan potensi kemenangan dan bonus dari situs.

Keuntungan Fantastis dari Skema Curang Judi Online

Para tersangka dalam aksinya mencari keuntungan dengan memanfaatkan promosi dari setiap pembukaan akun baru.

Dalam satu hari, dengan bantuan empat unit komputer, kelompok ini dapat membuat hingga 40 akun baru di berbagai situs judi online.

Setiap akun dimanfaatkan untuk mengakses bonus dan promosi yang disediakan untuk pengguna baru.

Sebagaimana diketahui, sistem judol biasanya memiliki tingkat kemenangan yang lebih tinggi dibanding akun lama.

Kemudian, dalam satu bulan, kelompok ini bisa menghasilkan omzet hingga Rp 50 juta. Adapun aksi ini sudah beroperasi kurang lebih 1 tahun.

Para “karyawan” yang menjalankan akun diberi upah mingguan antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.

Manipulasi IP Address dan Nomor Telepon untuk Registrasi

Lebih lanjut, para pelaku juga memiliki trik untuk menghindari deteksi sistem dengan menggunakan berbagai nomor telepon baru dan kartu SIM yang diganti-ganti.

Hal ini bertujuan untuk menyamarkan identitas dan menghindari pemblokiran dari situs judi.

Menurut Kanit 1 Subdit V Ditreskrimsus Polda DIY, Kompol Ardiansyah Rolindo Saputra, setiap komputer bisa menjalankan hingga 10 akun berbeda. Pemain pun diwajibkan untuk bermain menggunakan seluruh akun yang sudah dibuat.

RDS juga menyiapkan puluhan hingga ratusan nomor HP untuk membuka akun tanpa menggunakan identitas asli.

“Kartunya diganti-ganti untuk mengelabui sistem IP address. Mereka tidak hanya mengambil keuntungan dari fee akun baru, tetapi juga memainkakn modal yang ada termasuk bonus. Jika untung, mereka withdraw; jika kalah, mereka buka akun baru,” paparnya.

Berawal dari Laporan Masyarakat, Polisi Langsung Bergerak

Di sisi lain, ditangkapnya komplotan ini memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat, “Siapa yang melapor?”

Mengingat baik judol maupun aksi komplotan tersebut merupakan tindakan ilegal, sedangkan dalam kasus ini pihak bandarlah yang merasa dirugikan.

Menjawab pertanyaan ini, Slamet pengungkapkan bahwa kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang masuk pada tanggal 10 Juli 2025.

Laporan ini lantas ditindaklanjuti oleh tim gabungan dari Direktorat Intelkam dan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda DIY.

Ancaman Hukuman Berat Menanti Para Tersangka

Kelima tersangka saat ini tengah menjalani proses hukum dan dijerat dengan berbagai pasal terkait aktivitas ilegal di ranah digital.

Mereka dikenai Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 303 KUHP jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Ancaman hukuman maksimal atas perbuatan mereka bisa mencapai 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 10 miliar.