10 Daftar LMK Terdaftar Resmi dan Menjadi Mitra LMKN, Simak Asal-Usul LMKN!
HAIJOGJA.COM – Isu soal royalti musik kembali jadi perbincangan publik.
Banyak pelaku usaha merasa khawatir dengan kewajiban membayar royalti untuk lagu atau musik yang mereka putar di tempat usaha.
Anggota Komisi XIII DPR, Mafirion, mengungkapkan keprihatinannya pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Ia menilai, beban royalti jangan sampai justru menghambat laju pertumbuhan industri kreatif di Indonesia.
“Jangan sampai ketakutan akibat beban royalti justru menghambat pertumbuhan industri kreatif itu sendiri,” ucapnya.
Mafirion juga mengingatkan bahwa aturan soal royalti harus mempertimbangkan kondisi pelaku usaha kecil dan menengah.
Ia mendorong pemerintah untuk duduk bersama dengan musisi, pelaku usaha, dan LMKN agar bisa menemukan jalan tengah yang adil bagi semua pihak.
Di tengah polemik ini, keberadaan dan kewenangan LMKN sebagai pengelola sistem kolektif nasional kembali jadi sorotan, terutama dari sisi hukum.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memang memegang peran penting dalam urusan pembagian royalti, tapi di sisi lain, keberadaannya juga menuai kontroversi.
Untuk memahami lebih jauh, mari kita lihat sejarah berdirinya LMKN, kewenangan yang dimiliki, dan berbagai persoalan hukum yang menyertainya.
Asal Usul dan Perjalanan LMKN
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya di Pasal 89 ayat (3).
Dalam aturan itu disebutkan perlunya membentuk lembaga pengelola royalti secara nasional agar proses penarikan dan pembagiannya bisa berjalan lebih efisien dan efektif.
Tugas utama LMKN adalah mengumpulkan royalti dari para pengguna musik di ranah komersial, lalu menyalurkannya kepada para pencipta lagu, pemilik hak cipta, dan pihak-pihak lain yang memiliki hak terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Wujud konkret LMKN baru benar-benar hadir pada 20 Januari 2015, saat Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly melantik jajaran Komisioner pertama.
Komisioner dibagi dalam dua kelompok yaitu ada perwakilan pencipta lagu dan perwakilan pemilik hak terkait.
Di kelompok pencipta, ada nama-nama seperti Rhoma Irama, James F. Sundah, Adi Adrian, Imam Haryanto, dan Slamet Adriyadie.
Sedangkan kelompok hak terkait diisi oleh Sam Bimbo, Ebiet G. Ade, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, dan Handi Santoso.
Saat masa jabatan mereka berakhir di akhir 2017, posisi PLT Komisioner ditunjuk sementara untuk memastikan kegiatan LMKN tetap berjalan hingga terbentuk pengurus baru pada 29 Januari 2019.
Pada periode 2019–2024, LMKN dipimpin oleh Brigjen Pol (Purn.) Yurod Saleh, dengan Direktur Hak Cipta dan Desain Industri sebagai wakilnya.
Komisioner LMKN kala itu juga terbagi ke dalam beberapa bidang, seperti hubungan antar lembaga, hukum dan litigasi, teknologi informasi, serta urusan royalti dan lisensi.
Kepengurusan terbaru dilantik pada 20 Juni 2022 oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej.
Beberapa nama publik figur turut bergabung, seperti Andre Hehanussa, Ikke Nurjanah, dan Marcel Siahaan.
Sebuah penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Udayana yang diterbitkan dalam Jurnal Magister Hukum Udayana edisi September 2024 menjelaskan bahwa LMKN adalah lembaga bantu yang tidak dibiayai APBN, namun diberi wewenang untuk menarik, menghimpun, dan menyalurkan royalti, sekaligus menetapkan pedoman tarif royalti secara nasional.
Peran dan otoritas LMKN makin diperkuat lewat Deklarasi Bali pada 26 April 2019.
Dalam deklarasi yang diteken oleh DJKI, LMKN, dan delapan LMK itu, LMKN ditetapkan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menarik dan mendistribusikan royalti secara terpusat dalam sistem satu pintu nasional.
Apa Saja Tugas dan Wewenang LMKN?
Berpusat pada Pasal 89 Ayat 2 dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 serta Permenkumham No. 36 Tahun 2018, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) secara resmi diberi mandat oleh negara untuk mengurus soal penarikan, pengumpulan, dan pembagian royalti atas penggunaan lagu atau musik di ruang-ruang publik yang bersifat komersial — seperti restoran, mal, hotel, transportasi umum, hingga platform digital.
Secara lebih detail, berikut ini beberapa tugas dan wewenang utama yang diemban LMKN:
- Menarik royalti dari pengguna komersial yang memanfaatkan lagu atau musik untuk kegiatan usaha mereka, seperti tempat hiburan, pusat perbelanjaan, hotel, bahkan layanan streaming.
- Menyusun sistem dan pedoman penghitungan tarif royalti, yang kemudian disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM agar punya kekuatan hukum.
- Menyalurkan royalti yang sudah dikumpulkan kepada para pencipta lagu, pemilik hak cipta, dan pemegang hak terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) masing-masing.
- Mengelola sistem berbasis teknologi agar proses pengumpulan dan distribusi royalti lebih transparan, akuntabel, dan efisien.
- Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap izin operasional LMK yang bekerja sama dengannya, untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.
Walaupun punya tanggung jawab besar, LMKN bukan lembaga negara dan tidak dibiayai oleh APBN.
LMKN berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM. LMKN juga tidak mengelola langsung data karya cipta, hal itu merupakan wewenang LMK yang memang memegang katalog karya dan kuasa atas pemilik hak.
LMKN berfungsi sebagai jembatan antara para pengguna karya dan LMK yang menjadi perwakilan resmi para pemilik hak cipta.
Daftar LMK Resmi yang Bermitra dengan LMKN
Sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pengelolaan royalti lagu dan musik dibagi ke dalam dua jenis Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) nasional.
Pembagian ini didasarkan pada dua kepentingan utama yaitu satu mewakili para pencipta lagu, dan satu lagi mewakili pemilik hak terkait seperti penyanyi, produser rekaman, dan sebagainya.
Hingga saat ini, ada 10 LMK yang terdaftar resmi dan menjadi mitra LMKN dalam proses distribusi royalti. Berikut daftarnya:
LMK yang mewakili pencipta lagu:
- KCI (Karya Cipta Indonesia)
- WAMI (Wahana Musik Indonesia)
- RAI (Perkumpulan Royalti Anugerah Indonesia)
- Pelari Nusantara
LMK yang mewakili pemilik hak terkait:
- SELMI (Sentra Lisensi Musik Indonesia)
- ARDI (Asosiasi Royalti Dangdut Indonesia)
- PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia)
- PRISINDO (Perkumpulan Rumah Industri Musik Indonesia)
- ARMINDO (Artis Rekaman Musik Indonesia)
- STAR (Star Music Indonesia)
Ke-10 LMK ini bertugas menjalankan kegiatan operasional dalam mengelola hak cipta dan hak terkait.
LMK juga menjadi pihak yang menerima distribusi royalti dari LMKN, berdasarkan data penggunaan lagu dan musik di ruang-ruang publik yang bersifat komersial.
Masalah Hukum di Balik LMKN
Sejak awal berdirinya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah menuai berbagai kritik, terutama dari sisi hukum.
Banyak pencipta lagu dan pelaku industri musik merasa bahwa hak mereka justru tersisih dalam sistem pengelolaan royalti yang terpusat lewat lembaga ini.
Kritik ini mencapai puncaknya pada Kamis, 24 April 2025, ketika sekelompok pencipta lagu dan pelaku industri yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menggugat Pasal 89 ayat (1) hingga (4) dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang terdaftar dalam perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025.
Dalam sidang yang digelar di ruang panel MK, para pemohon menilai pemerintah telah salah menafsirkan pasal tersebut dengan membentuk LMKN, padahal nama lembaga itu tidak pernah disebut secara eksplisit dalam undang-undang.
Mereka berpendapat bahwa pembentukan LMKN hanya berdasar pada penggunaan kata “nasional” dalam pasal tersebut, tanpa dasar hukum yang kuat, sehingga dianggap sebagai bentuk pelampauan wewenang (ultra vires).
Selain itu, mereka menyoroti peran LMKN dalam menarik dan mengelola royalti yang dinilai justru merugikan pencipta.
Alasannya yaitu prosesnya dinilai minim transparansi, tidak akuntabel, dan bertentangan dengan prinsip keadilan serta kepastian hukum seperti yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Tak hanya itu, sistem pengelolaan royalti yang terpusat di tangan LMKN juga dianggap melanggar prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945), karena tidak memberi ruang bagi para pencipta untuk ikut menentukan bagaimana royalti mereka dibagi.
Dalam petitum gugatan, APMI meminta Mahkamah agar frasa “nasional” tidak dimaknai sebagai legitimasi pembentukan LMKN.
Mereka juga mendesak agar urusan pengelolaan royalti sepenuhnya dikembalikan ke LMK tanpa campur tangan lembaga perantara seperti LMKN.
Meskipun LMKN dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan sistem yang efisien dan melindungi hak ekonomi pencipta, kenyataannya lembaga ini masih menjadi bahan kritik.
Permasalahan transparansi, kejelasan wewenang hukum, dan keberpihakan terhadap pelaku industri kreatif menjadi tantangan besar.
Ke depan, keberlangsungan LMKN akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menyeimbangkan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan prinsip keadilan dan partisipasi yang setara dari seluruh pihak yang berkepentingan.